>

Target Ekspor Furnitur Rp 60 Triliun

Target Ekspor Furnitur Rp 60 Triliun

JAKARTA - Pemerintah berencana membatalkan aturan tentang kewajiban mengantongi sertifikat SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) dalam ekspor furnitur mulai tahun depan. Diharapkan ekspor furnitur bisa mencapai USD 5 miliar atau sekitar Rp 60 triliun dalam lima tahun mendatang.

                Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, industri furniture harus dapat memperoleh nilai tambah dari setiap kebijakan yang diambil Pemerintah. Salah satunya dengan menggenjot ekspor furnitur yang saat ini masih didominasi bahan baku kayu.\"Komposisi ekspor furniture Indonesia kalau dilihat dari segi bahan baku saat ini kayu 59,5 persen, metal 8,1 persen, rotan 7,8 persen, plastik 2,3 persen, bambu 0,5 persen dan lain-lain 2,3 persen,\" ujarnya kemarin (5/11).

                Saat ini kinerja ekspor furnitur khususnya rotan masih sangat rendah yaitu hanya USD 200 juta, sedangkan total untuk kayu dan rotan mencapai USD 2 miliar. Saleh berharap produk-produk asli Indonesia ini tidak hanya disukai di dalam negeri, tetapi juga dicari oleh konsumen di luar negeri. \"Perlu dilakukan pemasaran yang massal, melibatkan berbagai instansi agar produk furnitur, dan produk interior Indonesia lebih dikenal luas di dunia,\" tambahnya.

                Pada perkembangannya, lanjut Menperin, industri furnitur semakin tidak bisa dilepaskan dari teknologi dan terutama faktor desain yang sangat berhubungan dengan tren masyarakat.\"Diperlukan usaha ekstra keras untuk terus memperbaharui desain sesuai tren terkini, sekaligus tetap berciri khas Indonesia. Terbatasnya jumlah desainer dan teknologi bisa menyebabkan turunnya daya saing produk furniture Indonesia,\" ungkapnya.

                Menurut Menperin, tantangan kedepan yang harus sama-sama dicermati adalah penerapan pasar tunggal Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015. MEA ini diharapkan dapat menjadi komunitas kerjasama antar negara-negara Asean untuk masuk ke pasar yang lain.\"MEA dapat menjadi peluang atau ancaman bagi industri dalam negeri, itu semua tergantung kita mau menempatkan diri di posisi menyerang atau bertahan,\" tuturnya.

                Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan, mengakui bahwa Kemendag ingin membebaskan para pengusaha furnitur dari kewajiban mengantongi SVLK mulai tahun depan. Menurutnya aturan SVLK selama ini kurang tepat dikenakan ke industri furnitur. \"Mereka ini kan pembuat mebel, semestinya pemasok kayu itu yang harus diverifikasi karena dia yang mengambil kayu sehingga asal-usulnya harus dijelaskan,\" paparnya.

                Dengan begitu dia berharap para pengusaha furnitur tidak akan terganjal masalah sertifikasi ketika ingin melakukan ekspor. Pasalnya biaya untuk melakukan sertifikasi bisa mencapai puluhan juta rupiah.\"Masalah itu tidak lagi menyulitkan industri kecil menengah yang cuma memproses, sebab yang punya kayu kan bukan dia. Selama ini ongkos sertifikasi cukup memberatkan mereka, akibatnya ekspor furnitur tidak tumbuh maksimal,\" sebutnya.

                Rencana ini akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan kementerian-kementerian terkait, terutama Kementerian Kehutanan. Menurut Partogi, mandatori SVLK tetap dikenakan kepada industri kayu di tingkat hulu, sebab mereka yang paling mengetahui asal usul kayu yang dijual ke industri furnitur.\"Tidak perlu sampai ke industri hilir yang mengolahnya menjadi mebel. Yang punya kayu itu pemasok,\" jelasnya.

(wir)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: