Lima Spesies Grade A, tapi Belum Punya Nama

 Lima Spesies Grade A, tapi Belum Punya Nama

Dosen UNS Sukses Kembangkan Rumput Lokal Berstandar FIFA

 Di balik buruknya kualitas kompetisi sepak bola nasional, Indonesia punya ahli rumput untuk stadion berstandar FIFA. Sayangnya, belum banyak daerah yang memanfaatkan hasil rekayasa genetis karya dosen Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu.

 NARENDRA PRASETYA, Jakarta

 

 Namanya singkat, Rahayu. Tapi, jangan salah, dia bukan seorang perempuan, melainkan laki-laki tulen. Sehari-hari Rahayu adalah pengajar di Fakultas Pertanian UNS. Di luar tanggung jawab akademis itu, dia punya profesi langka, menjadi pengelola rumput lapangan Stadion Manahan Solo.

 Karena itu, dia begitu khawatir terhadap kondisi rumput di stadion kebanggaan warga Kota Bengawan tersebut ketika terjadi kericuhan pasca pertandingan Divisi Utama antara Persis Solo melawan Martapura FC, 22 Oktober lalu. Dalam peristiwa itu, seorang pendukung tuan rumah tewas.

 Rumput di Stadion Manahan pun sempat rusak setelah menjadi ajang kerusuhan para suporter kedua kesebelasan. Karena itu, cukup beralasan bila Rahayu merasa prihatin melihat kondisi rumput yang dirawatnya jadi kering serta berantakan.

 \"Padahal, merawatnya tidak mudah lho. Perlu waktu lama untuk memelihara rumput stadion sepak bola,\" ujar Rahayu ketika ditemui di kantornya, Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS, kemarin (10/11).

 Rahayu merupakan doktor dengan spesialisasi rumput lapangan sepak bola yang diminta pengelola Stadion Manahan untuk membantu merawat rumput di stadion tersebut. Bukan sekadar ahli merawat rumput, dia juga mengembangkan 30-an galur atau spesies rumput zoysia yang biasa digunakan untuk lapangan sepak bola.

 \"Tidak semua sesuai dengan standar FIFA, memang. Tapi, dari 30 itu, lima di antaranya sudah mendekati grade yang disyaratkan,\" jelasnya.

 Rahayu menuturkan, rumput yang dikembangkannya tersebut mirip rumput jenis zoysia japonica. Rumput-rumput itu ditemukannya di beberapa kawasan di Jateng-DIJ dan sebagian Jatim serta Bali. Itu terjadi setelah dirinya meneliti rumput secara khusus sejak 2011.

 Doktor di Jurusan Manajemen Rumput Dankook University, Cheonan City, Korea Selatan, itu melakukan penelitian bersama beberapa mahasiswanya di UNS. \"Rata-rata saya temukan di sekitar Gunung Merapi, Merbabu, dan Sindoro. Karena itu, banyak yang menyebut rumput ini sebagai rumput Merapi,\" ungkap pria 39 tahun tersebut.

 Untuk penelitian itu, Rahayu mengambil sampel rumput zoysia dari masing-masing objek penelitian. Dari rumput tersebut, dia lalu mengambil plasma nutfah-nya dan dicek dengan ember berdiameter 80 sentimeter. Dari situ, bisa dilihat bagaimana level kualitas rumput itu, baik secara visual maupun fungsional.

 Untuk visual, Rahayu mengamati warnanya. Semakin hijau semakin bagus. Kerapatannya juga dibandingkan. Yang ideal memiliki kerapatan sekitar 0,5 sentimeter. Daun lebar dan warna yang kontras antara muka dan belakang juga jadi nilai plus. Sementara itu, untuk fungsional, bisa dilihat dari kecepatannya tumbuh, kedalaman akarnya, hingga ketahanannya dari cuaca kering. Semua itu diuji dengan metode NTEP (National Turfgrass Evaluation Program).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: