KPK Tagih Janji Kepala Daerah
Cabut Izin Perusahaan Tambang di Jambi
JAMBI – Pasca menginstruksikan kepala daerah di Jambi mencabut izin perusahaan pemegang izin pertambangan (IUP) bermasalah, KPK dan Dirjen Minerba kembali memanggil empat Kepala Daerah. Empat Kepala Daerah tersebut adalah, Gubernur Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Riau dan Bangka Belitung. Pertemuannya dilakukan di Palembang tanggal 20 November ini.
‘’Iya memang ada, tapi tidak ke Jambi, di Pelembang saja,\" kata Kepala Dinas ESDM Provinsi Jambi, Gamal Husen, saat dikonfirmasi harian ini tadi malam.
Seperti diketahui, pemegang IUP di Jambi ada yang ngemplang pajak miliaran rupiah. Ratusan perusahaan pemegang IUP ini menyebar di beberapa Kabupaten di Provinsi Jambi. Tak hanya pajak, tapi juga soal royalti, sejumlah kawasan hutan konservasi juga menjadi ladangan subur bagi sejumlah perusahaan tambang Jambi.
Diakui Gamal, permasalahan pertambangan di Jambi sedang dalam proses, dari 398 izin pertambangan yang ada di Provinsi Jambi, sudah 100 lebih izin yang dicabut. \"Yang dibahas nanti memang masalah izin,\" jelasnya.
Untuk pencabutan izin sendiri, dikatakan Gamal, yang berhak adalah Kabupaten masing-masing, Provinsi hanya kelengkapan administrasi.
\"Batas waktu 10 Desember,\" akunya lagi. Diakuinya, dirinya akan berangkat bersama Sekda untuk menghadiri acara di Palembang nantinya.
\"Bisa saja izin yang dicabut bertambah, karena kewenangan Kabupaten,\" akunya lagi. selain pencabutan izin, ada juga dilakukan pembinaan terhadap perusahaan, pembinaan dilakukan hanya untuk perusahaan yang sudah melengkapi persyaratan.
\"Hasilnya kita lihatlah nanti setelah habis rapat bersama Dirjen Minerba di Palembang nanti,\" tandasnya.
Sementara itu, dalam upaya melakukan supervisi terhadap izin tambang di Provinsi Jambi, KPK kembali datang ke Jambi. Rencananya KPK datang ke Jambi Selasa (18/11) mendatang.
‘’Rencana Korsup Selasa bertempat di ruang pola kantor Gubernur Jambi,’’ ungkap Sekda Provinsi Jambi, Ridham Priskap dalam suratnya kepada koran ini.
Seperti diketahui, saat turun beberapa waktu lalu, KPK menemukan ada beberapa izin usaha pertambangan yang bermasalah. Data Koordinator Tim Sumberdaya Alam Direktorat Litbang KPK menunjukkan dari 10. 922 izin pertambangan yang dimiliki, dengan 7. 754 pelaku usaha, 3. 202 diantaranya tidak punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Menurut data ini, di Batanghari ada 64 izin bermasalah dari 95 izin yang dikeluar pemda. Kemudian di Tebo, ada 42 izin bermasalah, Di Sarolangun dari 83 izin yang dikeluar, ada 36. Lalu, di Merangin dari 13 izin, ada 12 diantaranya non clean and clear. Saat itu, KPK juga sempat merelease daftar nama perusahaan pemegang izin pertambangan yang berada dalam hutan lindung di Provinsi Jambi. Diantaranya, Delapan Inti Power dengan luasan lahan 281.48, Jambi Gold dengan luas lahan 49,969.13 ha, Semen Baturaja (persero) dengan luasan 671.81 ha. Kemudian Tunas Prima Coal dengan luasan lahan di hutan lindung 7,075.67 ha.
Sedangkan Priharsa Nugraha, Biro Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rilisnya kepada Jambi Ekspres menegaskan, menegaskan, pihaknya sudah melakukan evaluasi dan refleksi perkembangan perjalanan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia.
Pertemuan yang dihadiri berbagai kementerian dan pemerintah daerah itu telah menegaskan beberapa hal sebagai acuan pelaksanaan rencana aksi. Ia menegaskan, sejumlah langkah yang dilakukan dalam NKB penting sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi dan pembenahan tata kelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat.
Indonesia dikaruniai potensi sumber daya alam yang seharusnya bisa menjadi modal dasar pembangunan sosial dan ekonomi yang kuat. Persoalan SDA juga terlihat dalam berbagai tataran, baik persoalan ideologis, regulasi, tata laksana, maupun kelembagaan.
Namun, aspek regulasi yang paling terasa, yakni pada tumpang tindihnya aturan. Sayangnya, rumitnya persoalan tersebut ditunjang dengan egosektoral yang kuat sehingga menjadi insentif bagi berbagai ekses negatif seperti tingginya konflik, ketimpangan manfaat SDA, biaya transaksi dalam pengelolaan SDA, bahkan hingga korupsi.
Misalnya, dalam kajian perizinan ditemukan bahwa dengan luasan kelola hutan produksi hingga 35 juta hektar, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dapat ditarik hanya sekitar Rp 3 triliun per tahun. Padahal, dari satu Hak Pengusahaan Hutan (HPH) harus mengeluarkan biaya “informal” mencapai Rp 22 miliar setahun. Dapat dibayangkan kalau izin tadi mencapai ratusan.
Sedangkan aspek tata laksana prosedur peizinan seringkali tidak dipatuhi. Di sisi lain pengawasan terhadap pelaksanaan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), kewajiban pajak, dan pinjam pakai kawasan hutan juga masih lemah.
\"Upaya pembenahan tata kelola SDA harus dilakukan secara sinergis oleh seluruh Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah dan Civil Society Organization (CSO) agar memiliki dampak langsung pada masyarakat,\" tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: