Menakar Guru Melalui Revolusi Diri

Menakar Guru Melalui Revolusi Diri

Oleh : *M. Syahran Jailani

Pendahuluan

Menyambut hari Guru tanggal 25 November 2014 yang bertepatan hari Selasa ini, sebagai insan yang bergelimang fokus di dunia pendidikan agaknya patut kita merenung sejenak akan keberadaaan guru di bawah sorotan tajam dalam mencerdaskan anak bangsa. Bila mencermati fenomena dan menyaksikan dunia pendidikan kita di Indonesia hari ini, kita patut menghela nafas dalam-dalam dan mengurut dada. Banyak istilah yang diungkapkan oleh para pakar pendidikan dan praktisi pendidikan untuk menggambarkan betapa menyedihkan dan memilukannya raut wajah pendidikan kita saat ini.  Winarno Surachmad (2004) tokoh pendidikan kita menyebut pendidikan kita hari ini “ sudah mati ”, Mochtar Bochari (1994) mengistilahkan kondisi pendidikan kita dalam keadaan “ mati suri ”,  Tilaar (2002) memberi istilah lain dengan bahasa bahwa pendidikan kita diantara “ menara gading ”. Pendapat-pendapat para tokoh dan pakar pendidikan tersebut mengisyaratkan kepada kita betapa mengkhawatirkan atau menurut penulis betapa gawatnya (emergency) pendidikan kita.

Banyak hal-hal aneh tapi nyata terjadi dalam dunia pendidikan kita. dalam bahasa Prof. Prayitno (2007) banyak sekali dalam dunia pendidikan kita terjadi “ kecelakaan pendidikan ”. Winarno  Surachmad (2004) “ kriminalisasi pendidikan ”. Misalnya dalam proses pembelajaran dikelas terjadi kekerasan fisik dan mental terhadap siswa, sering muncul kasus pelecehan seksual terhadap siswa (anak didik), tindakan kekerasan yang menyebab hilangnya nyawa manusia, masih terjadinya tawuran antar pelajar, pelaksanaan ujian nasional yang banyak menimbulkan polemik, munculnya tim sukses, sindikat pencontekan yang diatur secara sistematis, sistem sertifikasi yang banyak menuai dan memunculkan kritik, penggunaan dan penyaluran dana pendidikan  (BOS) yang terus bermasalah, penyediaan buku belajar yang dikomersilkan, guru yang mengajar asal-asalan, kesejahteraan guru yang dipertanyakan, kurikulum yang senantiasa berubah, belum terpenuhinya amanat undang-undang tentang alokasi anggaran pendidikan minimal 20% sebagian kepala daerah kabupaten/kota, keterlibatan oknum guru pada tim sukses atau sejenisnya pada pemilihan kepala daerah, isu pemungutan uang penerimaan siswa baru,dan sampai ke persoalan otonomi pendidikan dan kebijakan yang tidak konsisten dari pusat sampai daerah provinsi serta kabupaten/kota.

Memang sorotan paling tajam dari semua problem itu diarahkan pada kualitas guru. Diakui kebanyakan kualitas guru belum  menjalankan tugas dan fungsinya sebagai guru profesional dan belum  memadai untuk melaksankan kiprahnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No. 20 tahun 2003 tugas dan kewajiban guru yang berbunyi yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian hasil, dan melakukan pengabdian masyarakat. Bahkan sebagian dari guru-guru kita  dinyatakan “ tidak layak mengajar ”.

Kita akui secara jujur, pemerintah terus berupaya untuk menjawab kritikan dan masukan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan terutama berkaitam kualitas guru kita melalui berbagai upaya, misalnya kebijakan dengan menyempurnakan Undang-Undang Sistem Pendidikan No. 2 tahun 1989,  Undang-Undang Sistem Pendidikan No. 20 tahun 2003, Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan kemdian diperbaharui melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permen/Kepmen serta berbagai turunan aturan-aturan lainnya.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, kritik para pakar pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendidikan, praktisi pendidikan, pelaku pendidikan dan stakeholder lainnya, yang kesemuanya itu memiliki satu tujuan yaitu bagaimana mutu guru bisa meningkat dan dan kemampuan guru-guru kita mampu sejajar dengan bangsa lain serta pendidikan kita mampu bersaing dengan bangsa yang sudah maju. Pertanyaannya kemudian yang muncul mengapa kualitas  guru kita masih rendah alias tidak profesional ? untuk menjawab pertanyaan ini, menurut penulis diantara problem utama kualitas guru kita rendah adalah apa yag dikemukakan Prof. Prayitno (2008 : 1) mengatakan karena “ Tidak dipraktekannya ilmu pendidikan dan merajalelanya kecelakaan pendidikan merupakan dua hal yang menjadi akar rendahnya mutu pendidikan ”

Solusi Mengangkat Harkat dan Martabat Pendidikan

  Mochtar  Bochari(1994 : 51) dalam bukunya “Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan” ; mengatakan bahwa mutu pendidikan itu pada akhirnya adalah keseluruhan dari mutu setiap perjumpaan “guru – murid” yang terjadi selama jangka waktu tertentu. Suatu perjumpaan guru – murid dapat dikatakan bermutu apabila perjumpaan itu tadi berdampak atau terasa membantu perkembangan diri murid. Sebaliknya suatu perjumpaan guru – murid harus dipandang tidak bermutu apabila perjumpaan tadi tidak berdampak mendorong atau tidak terasa mendorong perkembangan diri murid, atau lebih parah lagi menghambat perkembangan diri murid.

Jadi perjumpaan guru dan murid yang ditandai oleh murid-murid yang mengantuk atau murid-murid yang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan guru bukanlah suatu perjumpaan yang bermutu. Guru yang tidak menguasai medium pendidikannya, yang tidak menguasai vak-nya, tidak mungkin mampu menyelenggarakan perjumpaan guru – murid yang bermutu. Jadi kalau selama satu tahun pelajaran perjumpaan guru – murid yang terjadi di suatu kelas di suatu sekolah lebih banyak diwarnai oleh suasana serta peristiwa-peristiwa yang tidak mendorong perkembangan diri para siswa, maka keseluruhan proses pendidikan tidak dapat dipandang bermutu.

Lebih lanjut  Mochtar Bochari (1994 : 52) menjelaskan bahwa, kalau pandangan ini dapat diterima, maka upaya meningkatkan mutu pendidikan harus difokuskan kepada upaya pengidentifikasian langkah-langkah yang interaksinya akan melahirkan perjumpaan guru – murid yang bermutu. Apa saja yang harus dilakukan kita dewasa ini untuk membantu guru-guru kita disekolah agar mampu mengadakan perjumpaan yang baik dengan muridnya dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun ? Kalau semua upaya yang telah dicoba selama ini revisi kurikulum, perbaikan program pendidikan guru, pengadaan buku-buku, menaikkan kesejahteraan guru. Seluruhnya kita hubungkan dengan masalah menciptakan perjumpaan guru – murid yang baik ini, maka minimal akan terjawab pertanyaan tentang bagaimana meningkatkan mutu pendidikan. Karena revisi kurikulum dirancang bagaimana muatannya dilakukan untuk menimbulkan perjumpaan guru – murid yang lebih baik.  Program pendidikan guru harus dikembangkan untuk menimbulkan perjumpaan guru – murid yang bermutu ! buku pelajaran disusun untuk menimbulkan perjumpaan guru – murid yang baik !

Tak kalah pentingnya juga upaya mengangkat harkat pendidikan ialah dengan menjadikan pendidikan dengan “bertumpu dengan ilmu pendidikan” (lihat Prayitno, 2008: 3-4). Ilmu pendidikan harus dihidupkan kembali (kalau memang ia sudah mati), harus dibuat sadar (kalau memang koma), harus diberi semangat, dibuat tegar dan diberdayakan (kalau memang tidak berdaya), dihargai dan dihargakan (kalau memang masih merupakan barang murah) dan ditegakkan sosok dan arahnya (jika memang ia disorientasi), dipupuk dan disuburkan (kalau memang kerdil), di paskan ukurannya untuk masing-masing pengguna (kalau memang kedodoran). Apa artinya pendidikan tanpa ilmu pendidikan; apa artinya pendidikan yang didalamnya penuh dengan kecelakaan pendidikan. Kita memerlukan ilmu pendidikan (IP) yang jelas sosok dan arahnya, solid dan dapat diterapkan dalam praktek pendidikan disegenap jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Kita menginginkan adanya ilmu pendidikan yang bisa menjadi roh dan arah dalam pelaksanaan pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP).

Mengambil pendapat Prayitno,  berbagai teori dari buku-buku teks asing yang telah banyak diadopsi. Betapa indahnya dikumandangkan dan dipampangkan dalam berbagai diskusi, seminar, lokakarya dan penataran tentang pendidikan, namun dilapangan praktik pendidikan yang berlangsung adalah sekedar “ intruksi-intruksi dari pendidik (guru) kepada peserta didik (siswa) ”. Betapa merdunya kita mendengar istilah quantum learning, active learning, learning revolution. Kegiatan belajar melalui pendekatan konstruktivisme sebagai teori dan praktis pembelajaran yang dilontarkan dalam latihan-latihan bagi para (calon) pendidik. Namun yang terjadi dilapangan pada umumnya baru sekedar “ Lima Ha ” yaitu hiasan, hapalan, keharusan, hardikan dan kehampaan. Apa yang indah dalam buku-buku teks itu belum menjadi “roh dan arah” dalam praktek pendidikan yang seharusnya memperkembangkan dan membesarkan peserta didik.

Pada akhirnya, tugas dan fungsi pendidikan adalah untuk menjawab nilai-nilai harkat dan martabat manusia tersebut melalui potensi fitrah (Hasan Langgulung, 1986 : 48). Pendidikan berkewajiban mengarah, membimbing manusia kearah kesempurnaan harkat dan martabat kemanusiaan. Prayitno (2005 : 13) mengatakan pendidikan merupakan hajat hidup semua orang. Tanpa pendidikan seorang individu tidak akan menjadi manusia sebagaimana diharapkan oleh masyarakat dimana individu itu hidup. Wassalam

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: