>

Baru Tersentuh Pendidikan 5 Tahun Lalu

Baru Tersentuh Pendidikan 5 Tahun Lalu

Pemukiman pertama, ada sekitar lima pondok yang sama. Disana terlihat beberapa anak kecil sedang bermain. Sedangkan orang dewasa tengah asik ngobrol antara satu dengan yang lainnya.

Kami meneruskan perjalanan ke  pemukiman Temenggung SAD Kelompok Terap, Marituah. Dimana, di lokasi yang letaknya di perbukitan itu ada sekitar 10 pondok. Miris, mereka tidak lagi tinggal di dalam hutan, tetapi sudah berada di sudut lahan karet. Ini merupakan hutan dan wilayah jelajah mereka yang sudah dibabat oleh perusahaan.

Sesaat kami memarkirkan kendaraan, seakan-akan letih dalam perjalan menuju ke lokasi itu hilang. Kami disambut  anak-anak orang rimba, tanpa baju yang hanya mengenakan pakaian khas mereka yang biasa disebut cancut, mendekati kami. Itu adalah kebiasan yang dilakukan oleh mereka jika melihat orang asing.

Depati dan fasilitator dari Warsi ini Theo, langsung mengantarkan kami untuk bertemu tumenggung, dan dipersilahkan untuk menunggu di depan sebuah pondok. 10 menit menunggu, terlihat seorang dengan rambut lusuh, tanpa alas kaki dan hanya mengenakan cancut mendekati kami.

Setelah diberitahu Theo, ternyata itu adalah tumenggung yang merupakan pemimpin kelompok ini. Kami pun langsung berjabat tangan dan mengenakan diri, serta menyampaikan maksud dan tujuan kami. Dia menyampaikan, bahwa kami harus mematuhi adat mereka. Dimana, kami tidak diperbolehkan mengambil mengabadikan gambar wanita dan rumah mereka. Karena menurut kepercayaan SAD, rumah sangat sakral, kemudian wanita adalah hal yang harus dilindungi.

Kendati demikian, sang Tumenggung mengizinkan kami untuk melihat dan meliput kegiatan belajar anak-anak mereka yang mana semuanya adalah anak laki-laki dari umur 10-15 Tahun.

\"Disiko jangon ngambik foto, Dido boleh. Kalau nak meliput kegiatan anak-anak belajar boleh, dak apo-apo lah,\" ujar tumenggung.

Hanya saja, kami tidak bisa melihat anak-anak belajar di tempat tersebut. Dikatakan Theo,bahwa lokasi belajar mereka ada di suatu tempat yang merupakan pondok belajar. Namun, pondok itu tidak selalu digunakan. Pasalnya, ia harus mengikuti mereka yang selalu berpindah-pindah tempat di wilayah tersebut.

\"Kalau pondok itu, hanya digunakan ketika kelompok mereka berada disekitar pondok itu. Tetapi kalau mereka berpindah-pindah, saya juga mengikuti mereka,\" kata Theo.

Beruntung, saat itu anak-anak yang aktif dalam belajar tengah berkumpul di pemukiman Tumenggung Marituah, jadi mereka langsung mengikuti kami menuju pondok belajar. Sekitar 30 menit disana, kami melanjutkan perjalanan menuju pondok belajar di bibir hutan. Masih dalam kawasan lahan karet, terlihat beberapa pondok yang sudah mereka tinggalkan.  Melewati sungai Jelute dengan jalan tanah yang terjal. Hampir 5 tempat kami temui, yang merupakan bekas pondok yang mereka tinggalkan. Masih terlihat pakaian serta atap pondok yang terbuat dari terpal hitam.

Perjalanan kami tidak berjalan mulus, beberapa kali kami turun untuk mendorong mobil karena tidak bisa melewati jalan yang sangat-sangat buruk atau yang biasa mereka sebut jalan yang leak. Tepatnya di Sungai Anak Dangku, jalan sangat buruk sehingga membuat kami turun dari dalam mobil.

Satu jam kemudian, tepatnya pukul 16.30 Wib, sampai lah kami di camp yang dibangun oleh pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Warsi. Disana, kami pun langsung beristirahat karena menempuh perjalanan panjang dengan jalan yang buruk dan terjal.

Depati Nyurau mengatakan, kelompoknya menerima untuk diberikan pendidikan hanya sejak lima tahun terakhir. Dimana sebelumnya mereka mengganggap pena sebagai salah satu yang bisa merusak adat dan kebudayaan mereka. Dengan hal itu, banyak LSM yang masuk untuk memberikan pendidikan mereka tolak mentah.

 “Sebenanyo dulu zaman nenek moyang kami, kami sering tertipu oleh perusahaan yang memanfaatkan kami untuk mendapatkan lahan. Diberikan surat, ini aku tolong jempol surat ini dengan pak tumenggung ataupun depati. Ini tidak apo-apo surat ini. Sudah jempol taunyo hutannyo habis,” akunya.

Bahkan, tidak jarang mereka tertipu oleh para tengkulak yang menampung hasil pencaharian mereka. Dimana, pengepul tidak membayar penuh sesuai dengan nilai yang harus ia terima. Mereka hanya menerima saja karena memang tidak mengerti dengan nilai uang dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: