Rupiah yang Terbegal

Rupiah yang Terbegal

Oleh: Ronny P. Sasmita

Sudah beberapa hari belakangan, rupiah mulai keras kepala dan bergerak diluar ekspektasi publik. Rupiah berdiri santai di atas level 13000 sesantai reaksi otoritas fiskal dan otoritas moneter menanggapinya. Baik pihak istana maupun pihak otoritas moneter (BI) nampaknya  sepakat bahwa angka 13000 adalah angka yang biasa-biasa saja. Posisi mata uang Indonesia  dianggap aman-aman saja alias  tidak perlu dikhawatirkan.

Terkait soal depresiasi Rupiah ini, Jokowi seringkali memberikan reaksi yang terkesan kurang mengena dan sangat eksternal-teknikal. Jawaban-jawaban seperti faktor penguatan dollar, pemangkasan suku bunga China, krisis Yunani, atau besarnya ekspektasi pasar global terhadap kenaikan suku bunga The Fed, adalah jawaban-jawaban yang dicarikan dari luar persoalan utama rupiah. 

Jawaban-jawaban semacam inilah yang membuat kita paham mengapa pemerintah terlihat santai menanggapi situasi mata uang Indonesia. Pemerintah tidak melihat depresiasi rupiah ini sebagai endemik internal Indonesia, tapi lebih kepada pengaruh eksternal yang tak mungkin dihindari karena memang demikianlah globalisasi keuangan itu bekerja, terdapat interdependensi dan interelasi antara satu mata uang dengan mata uang lainya yang tak mungkin dinafikan, apalagi dihalangi.

Secara teknis, tentu semua jawaban dan reaksi pemerintah tak ada yang salah. Data tenaga kerja dan data non farm payroll (data gaji diluar sektor pertanian) yang dirilis hari Jumat minggu pertama bulan Maret di Amerika memang jauh diatas proyeksi dan prediksi, sehingga membuat dollar langsung perkasa bahkan sebelum suku bunga dinaikan oleh The Fed. Begitu pula perkembangan moneter di China. Bank Rakyat China (PBOC)  secara mengejutkan telah memangkas suku bunga dua kali dalam tiga bulan terakhir sebagai reaksi moneter negeri tirai bambu terhadap intimidasi perlambatan ekonomi domestik. 

Disisi lain, krisis hutang Yunani juga kian akut. Belum ada titik temu antara pemerintahan Yunani yang baru dengan para kreditor Eropa soal model dan bentuk pinjaman atau bail out yang sama-sama bisa disepakati. Sehingga menimbulkan ketidakpastian di daratan Eropa  yang jika dibiarkan terus berlangsung akan menggegerkan sistem keuangan internasional dan mendorong para pelaku pasar untuk beralih ke mata uang yang lebih kuat (dollar) atau instrument safe haven (emas). Kondisi ini diprediksi juga akan ikut mendorong rupiah semakin tak terkendali karena keterkaitan Indonesia dengan modal-modal internasional (sistem keuangan internasional) sudah berada dalam taraf yang mengkhawatirkan.

Depresiasi rupiah yang terjadi beberapa hari ini adalah pelemahan sebelum The Fed menaikan suku bunga. Saya agak khawatir juga jika ternyata bulan April hasil pertemuan tingkat tinggi The Fed (Forum Open Market Committee/FOMC) ternyata mewujudkan janjinya untuk menaikan suku bunga acuan Amerika. Diprediksi rupiah akan terpental lagi. Secara teknikal, Rp. 13000 adalah titik psikologis yang jika tertembus maka rupiah bisa saja bergerak liar ke atas tanpa kendali. 

Namun, reaksi rupiah terhadap perkembangan ekonomi global juga tidak lepas dari kesehatan fundamental Indonesia sendiri yang tak pernah diakui oleh pemerintah. Pemerintah nampaknya lebih senang menjadikan isu-isu dari negara luar  sebagai kambing hitam depresiasi rupiah. Padahal secara fundamental, kita nyaris mengalami defisit empat sisi yang harus segera dicarikan solusinya. Defisit itu adalah defisit transaksi berjalan, defisit perdagangan,  defisit pembayaran, dan defisit keseimbangan primer.

Tentu pemerintah tak salah dengan mengatakan jika rupiah melemah, maka akan sangat menguntungkan eksportir. Ya, tentu saja itu benar. Namun dengan membiarkan rupiah terkapar diatas level psikologis, maka itu juga berarti bahwa pemerintah membiarkan komoditas import terkerek naik dan memukul purchasing power (daya beli) masyarakat kelas menengah ke bawah. Sudah sejak lama kita bergantung pada komoditas pokok yang diimport dari luar, mulai dari kedelai, jagung, gandum, daging, garam, gula, bawang merah, bawang putih, bahkan juga beras. Nilai import Indonesia untuk komoditas pokok tahun 2014 sudah mencapai sekitar $5 miliar atau mendekati angka Rp. 70 triliun. Begitu pula dengan barang-barang modal untuk merealisasikan mimpi infrastruktur pemerintah.

Lebih jauh lagi, kondisi ini juga akan menyakiti rasio hutang dalam negeri terhadap PDB yang kian mengkhawatirkan. Utang otomatis bertambah tanpa aksi penambahan kuantitas utang karena semakin banyak rupiah dibutuhkan untuk memenuhi nilai satu dolar. Pelaku usaha dalam negeri yang bergantung pada utang berdenominasi mata uang asing, terutama dollar, akan sangat terpukul. Ini juga tak baik untuk ekonomi ril kedepan ditengah-tengah suku bunga yang jauh dari kompetitif. Pilihan utang luar negeri bagi pelaku usaha adalah pilihan yang sangat rasional karena suku bunga dalam negeri yang sangat tinggi. Pelaku usaha bisa mendapat suku bunga kredit yang sangat rendah dengan berhutang dalam mata uang dollar, yen, euro, dll, yang mematok suku bunga kredit dikisaran  2-4% per tahun, ketimbang suku bunga domestik yang bisa mencapai 13% per tahun.

Disisi ekonomi ril juga sangat mengkhawatirkan, daya beli masyarakat terus tergerus akibat peningkatan biaya ekonomi domestik. Biaya-biaya ekonomi terus berlipat akibat pencabutan aneka subsidi dan perluasan basis objek pajak. Pemangkasan subsidi mulai dari BBM, pupuk, tarif angkutan, kenaikan pajak tol, dll, telah memangkas kapasitas belanja dari penghasilan publik. Pemerintah nampaknya ingin menggenjot pertumbuhan dengan menaikan belanja pemerintah, namun mengorbankan sisi permintaan publik. Catatannya, pemerintah tentu harus lebih hati-hati dan super prudent agar peralihan prioritas pertumbuhan tersebut tidak  sampai benar-benar merusak stabilitas makro yang bisa mencederai fundamental ekonomi nasional. Karena jika peralihan penekanan pertumbuhan malah mengobrak-abrik stabilitas fundamental ekonomi, ditakutkan malah merusak rencana ekonomi pemerintah itu sendiri yang akan kehilangan basis fundamental untuk menopang pertumbuhan.

Jika dilihat perkembangan sampai hari ini, depresiasi rupiah sejatinya terjadi karena  reaksi fundamental ekonomi nasional yang loyo terhadap  aksi-aksi ekonomi global (Amerika, China, India, Eropa, dan Jepang) yang agressif. Dan hasil sementaranya,  rupiah dinyatakan kalah, terbegal di kancah internasional tanpa perlawanan yang berarti. Mengapa terbegal? Karena rupiah kurang fit, stamina dan  vitalitas kian menurun, kurang vitamin, didominasi oleh virus-virus ekonomi korupsi dan nepotisme, dicederai oleh politik konco-konco istana, dan ketidakpastian hukum yang menggila. 

(Penulis adalah Pemerhati Ekonomi Politik)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: