Money Politik Sulit Pidanakan
JAKARTA-- Pilkada serentak yang bakal digelar sebentar lagi masih memiliki celah hukum. Salah satunya, soal penindakan untuk pelaku money politic pada undang-undang 8/2015 tentang pemilihan gubernur, walikota dan bupati. Dalam UU tersebut money politic hanya dilarang, tanpa ada sanksi yang diberikan.
Kabareskrim Komjen Anang Iskandar menuturkan bahwa fakta dalam UU 8/2015 hanya diatur larangan money politic. Padahal, UU tersebut merupakan lexspecialis yang bisa mengesampingkan aturan umum, seperti KUHP dan KUHAP. \"Makanya, penyidik yang tergabung dalam penegak hukum terpadu (gakkumdu) harus benar-benar reserse yang paham UU 8/2015,\" jelasnya.
Apakah berarti pelaku money politic tidak bisa dipidanakan? Dia menampik kemungkinan tersebut. Baginya, fakta dalam UU tersebut bisa diganti dengan menerapkan Pasal 149 ayat 1 dan 2 KUHP. \"Pakai KUHP saja, seseorang yang memberikan atau menjadikan sesuatu, menyuap seseorang supaya melakukan sesuatu,\" paparnya ditemui setelah sebuah seminar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) kemarin.
Selain money politic, ada juga soal aturan partai politik ?yang menerima imbalan dari calon yang kurang tegas. Faktanya, dalam UU tersebut hanya mengatur larangan, pada ketentuan pidana tidak ada ancaman hukuman. \"Untuk yang ini, penyidik bisa memakai UU pemberantasan korupsi. Sebab, memang kurang tegas perppu tersebut,\" ujarnya.
Namun, upaya penegakan hukum ini harus menunggu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Aturannya, bila Bawaslu memastikan adanya pidana, maka dilanjutkan ke kepolisian. \"Tidak bisa langsung diproses, sebab ini pilkada yang pakai UU khusus,\" ujarnya.
Begitu, Bawaslu memastikan ada pidana. Maka, kasus itu dianalisa oleh kepolisian. Analisa ini diperlukan untuk benar-benar memastikan adanya tindakan pidana. \"Syarat formil dan materilnya harus benar-benar terpenuhi. Disinilah penyaringannya dilakukan,\" paparnya.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro mengungkapkan, sengketa penyelenggaraan pemilu yang diajukan sering dikarenakan adanya peraturan KPU yang kurang spesifik. Karena itu, pembenahan aturan selalu menjadi fokus KPU dalam setiap pelaksanaan pemilu, termasuk dalam pemilihan kepala daerah.
\"Kami merasa bahwa masalah selalu muncul dari pengaturan itu sendiri. Setiap lima tahun kami buat aturan, selama itu pula kami menghadapi masalah. Makanya tidak jarang Undang-Undang Pilkada digugat ke Mahkahamah Konstitusi,\" ujarnya.
Kesulitan pembuatan peraturan KPU dilatarbelakangi adanya peraturan undang-undang yang tidak jelas, sehingga KPU merasa perlu membuat sebuah aturan atau pedoman bagi pelaksanaan pemilihan.?\"Inilah yang menjadi sumber masalah, aturan tertinggi kurang jelas, maka aturan dibawahnya yang berupaya menjelaskannya juga sulit \" tegasnya.
?Sementara Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa, penegakan hukum untuk pilkada juga mengkhawatirkan untuk sengketanya. Sebab, belajar dari pilkada yang lalu, ada sekitar 80 persen sengketa yang berujung ke Mahlamah konstitusi (MK). \" kalau pilkada serentak bisa jadi ada 200 lebih sengketa, padahal MK hanya ada sembilan hakim,\" paparnya.
Masalah ini membuat potensi ricuh meningkat. Karena itu, semuanya harus mengantisipasinya, seperti Polri, Bawaslu dan MK. \"Kalau diantisipasi, tentu tidak perlu dikhawatirkan,\" jelasnya.
(idr)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: