180 Ribu Akun Penyebar Kebencian
Pemilik Bapak Dipanggil
JAKARTA - Polri bergerak cepat mendata akun media sosial (medsos) yang menyebarkan ujaran kebencian. Hasilnya, ada 180 ribu akun medsos Twitter yang terdeteksi menyebarkan ujaran kebencian. Langkah yang akan dilakukan, Polri berencana memanggil pemilik akun untuk memberikan peringatan.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menjelaskan, masalah utamanya dari 180 ribu akun medsos itu hampir semuanya anonim alias tidak beridentitas. Dengan temuan kebanyakan akun anonim, maka polisi menduga bahwa ada niat jahat dari pemilik akun tersebut. ‘’Pertanyaannya, mengapa tidak identitas sebenarnya, itukan,’’ujarnya.
Saat ditanya dari 180 ribu akun, berapa yang identitasnya sesuai? Dia menjawab bahwa hanya ada satu akun yang orangnya benar-benar ada. Lokasi dari pemilik akun ini juga jauh sekali. ‘’Tentunya, sesuai prosedur akun pengujar kebencian ini tidak diproses hukum, kecuali ada laporan,’’tegasnya.
Namun, sebagai temuan kepolisian, maka tetap akan ada tindak lanjut terhadap akun-akun pengujar kebencian tersebut. Kepolisian akan memanggil pemilik akun yang telah diketahui identitasnya. Ada berbagai hal yang harus diketahui, misalnya mengapa menyatakan ujaran kebencian agar mengetahui tujuannya.
‘’Lalu, kami peringati dan diberitahu bahwa tidak boleh mengatakan hal semacam itu di ruang publik. Sebab, ada konsekuensi hukum yang harus diterima, bila ternyata ada yang melaporkan perbuatan tersebut,’’paparnya.
Dia menyebutkan, Polri tidak akan menyalahgunakan surat edaran ujaran kebencian tersebut. Bila, ada pihak yang merasa bahwa surat edaran itu menjadi cara untuk menjerat para pengkritik presiden, semua itu tidak benar. Dalam surat edaran itu disebutkan secara detil, bagaimana prosesnya. ‘’Diutamakan mediasi kedua belah pihak yang bersengketa itu. Dengan begitu Polri tidak sewenang-wenang dalam surat edaran ini,’’ paparnya.
Yang belum disadari adalah siapapun bisa menjadi korban ujaran kebencian, tidak hanya presiden, namun juga gubernur, polisi dan masyarakat. Bila, ada yang menjadi korban ujaran kebencian ini, lalu bagaimana cara menyalurkannya. ‘’Tentu, Polri harus memberikan ruang untuk laporan semacam itu,’’tuturnya.
Kalau ruang untuk melaporkan ujaran kebencian itu tidak ada, yang dikhawatir justru bisa terjadi konflik. Misalnya, karena ada orang yang saling mengejek di medsos, malah mengumpulkan teman-temannya untuk melakukan tindakan anarkis. ‘’Justru, hal semacam inilah yang diantisipasi. Orang yang tidak puas harus diberikan salurannya,’’terangnya.
Dia menyebut, salah satu kejadian paling baru saat Final Piala Presiden. Saat itu ada pihak yang menyebarkan via Twitter soal kebenciannya terhadap supporter lainnya. Akhirnya, banyak supoter di Jakarta yang berupaya mengganggu jalannya pertandingan. ‘’Malahan, menimbulkan sweeping pada supporter lainnya,’’ujarnya.
Badrodin meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan surat edaran ujaran kebencian tersebut. Polri berupaya untuk melindungi masyarakat dengan adanya surat edara tersebut. ‘’Jangan dianggap sebaliknya, untuk membungkam kebebasan berekspresi,’’tuturnya.
Sementara itu, Presiden PKS Sohibul Iman mengingatkan harus ada batasan yang jelas mana ujaran kebencian dan mana yang bukan. ‘’Persoalannya nanti di situ, bagaimana cara judgement bahwa itu hate speech atau tidak,’’ujarnya di sela Rakernas PKS di Depok kemarin (3/11).
Menurut dia, persoalan tersebut jelas akan masuk pembahasan di DPR, juga menjadi bahan diskusi antara DPR dengan pemerintah. ‘’Jangan sampai karena tidak mau dikritik kemudian sedikit-sedikit mengkategorikan sebagai hatespeech,’’lanjutnya. bagaimanapun, kritik merupakan hal yang lazim terjadi di alam demokrasi.
Dia mengibaratkan kritik sebagai vitamin. Bila dosisnya pas, maka baik untuk tubuh. Bila overdosis, maka akan terbuang dengan sendirinya. Publik juga akan melihat siapa saja yang suka menyebarkan kebencian, dan mana yang bukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: