>

Jambi Hadapi MEA, Malaikatpun Menangis

Jambi Hadapi MEA, Malaikatpun Menangis

 

 Pertumbuhan Tinggi, Petani Termiskin

 Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berlaku 1 Januari 2016. Kurang lebih satu bulan lagi pergerakan barang, modal, jasa, investasi dan orang akan bebas keluar masuk Jambi.  Ini tantangan sekaligus peluang.

  “Petani Jambi akan bersaing dengan petani dari Thailand, Nelayan akan bersaing dengan nelayan Filipina, pedagang Angsoduo akan penuhi orang-orang Malaysia,’’ itulah ungkapan kekhawatiran salah satu pembicara seminar di Hotel Aston, Jambi saat berbicara mengenai kondisi MEA baru-baru ini.

MEA, suka atau tidak suka akan dihadapi. Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) akan jadi acuan. Siapa yang jadi pemenang dan pecundang, tergantung kemampuan apa yang dimiliki seseorang.

Demikian juga halnya dengan provinsi Jambi ini. Menghadapi MEA, bila dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi tidak begitu mengkhawatirkan. Mengingat,  pertumbuhan ekonomi provinsi Jambi saat ini mencapai angkat 7,93 persen melebihi target yang diminta pemerintah pusat sebesar 5,8 persen. Terlebih lagi  didukung peningkatan APBD Rp. 2,2 Triliun dalam 5 tahun terakhir. Demikian juga dengan Indeks pembangunan Manusia (IPM) berkisar pada 4,27 persen. Namun jika disandingkan dengan aspek pengangguran yang masih berada di angka 5,3 persen, kemudian Nilai Tukar Petani (NTP) tidak pernah diatas seratus persen, bisa dikatakan ekonomi Jambi tidak sehat. Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Kementrian keuangan dan juga Dosen di fakultas Ekonomi Universitas Jambi. Dr M Syurya Hidayat, dalam seminar Kebijakan Fiskal dan Perkembangan Ekonomi Terkini 2015.

“Jadi ketika pertumbuhan ekonomi kita meningkat tetapi angka pengangguran, NTP,Kemiskinan dan Inflasi tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan, itu sama saja tidak proporsional tidak sehat,” ujar Syurya, usai seminar yang berlangsung, di Aston Hotel, Selasa (24/11).

Dari kacamata ekonomi, kata Syurya, NTP, adalah indikator kesejahteraan petani. Tapi sayangnya selalu dibawah 100 persen. Padahal, itu bisa ditingkatkan pemerintah daerah. Karena, ekonomi daerah kita berbasis kepada sektor Argobisnis.

“Kalau dalam bahasa lugasnya, petani kita termiskinkan kalau melihat data realnya,” kata Syurya.

Menurut Syurya, pemerintah daerah, sudah mengetahui kalau ekonomi Jambi kuat pada bidang pertanian dan perkebunan, tetapi tidak pernah bertindak menguatkan keunggulan daerah tadi.

“Buktinya sampai sekarang tidak pernah ada industri hilirnya yang di kelola pemerintah, tetap di serahkan kepada swasta,” ungkapnya.

Pemerintah juga mengetahui kalau petani Jambi miskin, dan butuh lembaga pelindung, misalnya BUMD yang bisa memback up disaat harga komoditi unggulan anjlok. Misalnya, di saat harga karet dan sawit yang merupakan produk unggulan kita anjlok, itu BUMD bisa membeli dari petani dengan harga yang normal. Itu kan bisa digunakan menggunakan dana APBD, tetapi kenyataannya dana tersebut malah banyak dialihkan kepada sektor lain.

“Pemerintah kita tidak fokus dalam mengatasi masalah,”kata Syurya.

Juga yang membuat ekonomi provinsi Jambi ini tidak sehat, adalah, kurang sinergitas antara SKPD. Misalnya, ada lahan perkebunan yang jauh aksesnya dari jalan utama. “Misalnya lahan itu tugas dari Disbun, dan jalan dari Dinas PU, tugasnya Bapeda yang mengkoordinasi keduanya,”pungkas Syurya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: