>

BI Nilai Turunkan Bunga Berbahaya

BI Nilai Turunkan Bunga Berbahaya

JAKARTA - Sentilan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke kalangan perbankan agar suku bunga kredit diturunkan masih ditanggapi setengah hati oleh Bank Indonesia (BI). Pemegang otoritas moneter itu berdalih banyak faktor yang membuat bunga tidak bisa turun serta merta.

       Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, bunga tidak bisa cepat turun karena ekonomi Indonesia masih membutuhkan suplai valas untuk menjaga stabilitas nilai tukar. ‘’Kenapa saat ekonomi melambat kita malah nggak turunkan bunga saja kaya Amerika Serikat atau negara lain? kita tidak bisa seperti mereka, kita butuh valuta asing,’’ujarnya di Jakarta, Kamis (26/11).

        Dia juga menyatakan bahwa kebijakan BI yang menahan BI rate di level 7,5 persen sejak awal tahun bertujuan untuk menjaga agar tidak terjadi arus modal keluar (capital outflow). Penurunan BI rate berbahaya karena dapat menciptakan gejolak di pasar uang dan pasar modal dalam negeri. ”Pendanaan untuk surat utang pemerintah itu 37 persen yang beli asing. Penting jaga dana yang masuk untuk biayai APBN. Kita harus jaga agar modal tidak keluar,” tambahnya.

      Dia juga mengimbau agar seluruh pihak memahami kebijakan yang diambil oleh BI dengan tidak membandingkan kebijakan BI dengan negara-negara lain. Sebab, setiap negara memiliki kondisi ekonomi dan keuangan yang berbeda-beda satu sama lain.

        Pada kesempatan terpisah, Staf Khusus Wakil Presiden bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin mengatakan, salah satu penyebab tingginya suku bunga kredit di Indonesia adalah operasional bank yang tidak efisien, serta tingginya keuntungan yang diraup perbankan dengan net interest margin (NIM) lebih dari 5 persen. \'Padahal, bank sangat mendominasi pendanaan pelaku usaha, sehingga sangat berpengaruh pada perekonomian,\' ujarnya kemarin (26/11).

      Karena itu, pemerintah terus mendorong agar bank kian efisien, khususnya bagi bank bank BUMN yang sahamnya dimiliki pemerintah. Selain itu, rendahnya inflasi yang tahun ini diperkirakan ada di kisaran 4 persen, bisa memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate yang saat ini masih 7,5 persen. \'Tentunya pemerintah berharap jika BI Rate turun, diikuti perbankan (dengan menurunkan bunga kredit),\' katanya.

      Strategi lain yang ditempuh pemerintah, kata Wijayanto, adalah mendorong tumbuhnya kompetitor perbankan dalam pendanaan, yakni pasar saham dan obligasi. Artinya, jika membutuhkan tambahan modal, korporasi tidak harus selalu mengakses melalui pintu kredit, namun juga bisa menerbitkan obligasi maupun saham.

       Dengan begitu, sistem kompetisi akan terbentuk sehingga mau tidak mau perbankan akan menurunkan bunga kredit. \'Karena itu, pemerintah akan mendorong insentif bagi pasar saham dan obligasi untuk tumbuh,\' ucapnya.

       Sayangnya, strategi penerbitan obligasi atau saham hanya mungkin dilakukan oleh perusahaan besar atau menengah. Karena itu untuk pelaku usaha mikro dan kecil, pemerintah memberikan akses pada pendanaan dengan bunga rendah melalui kredit usaha rakyat (KUR).

       Dengan skema subsidi, suku bunga KUR yang sebelumnya sangat tinggi hingga 22 persen bisa diturunkan menjadi 12 persen. Bahkan, tahun depan akan diturunkan lagi menjadi 9 persen. \'Turunnya bunga untuk pelaku usaha mikro dan kecil ini, sedikit banyak juga akan berperan menurunkan suku bunga kredit untuk korporasi,\' jelasnya.

       Sementara itu, Menkeu Bambang Brodjonegoro mengimbau kepada para CEO sejumlah bank, agar tidak memberikan iming-iming bunga tinggi pada pemerintah daerah. Sebab, Iming-iming tersebut berujung pada mandeknya penyerapan dana daerah yang telah didistribusikan pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenkeu.

        \"Pada 2016, transfer ke daerah naik signifikan. Tapi saya minta kepada CEO Bank, jangan mengiming-imingi Pemda untuk rajin menyimpan uangnya di bank. Buat Anda (bank) enak dapat dana murah. Tapi buat rakyat itu masalah,\"tegas Bambang di Jakarta Convention Center (JCC), kemarin.

      Mantan Wamenkeu itu menegaskan, bunga bank tidak pernah masuk dalam pendapatan APBD. Yang ada justru dana ngendon di daerah semakin membengkak. Dia menuturkan, hingga bulan Oktober 2015, total dana menganggur dari pemerintah daerah di perbankan sudah mencapai Rp 276 triliun. Padahal, pihaknya telah melakukan akselerasi terhadap penyaluran dana daerah.\"Belanja transfer itu sudah 85 sampai 87 persen yang sudah ditransfer ke daerah,\"tegasnya.

      Karena itu, lanjut Bambang, pihaknya kembali menekankan bahwa sebaiknya tidak terus merayu pemda untuk menyimpan dana yang telah disalurkan pemerintah pusat di bank. \"Kami mohon bank jangan agresif membujuk Pemda agar nyimpan uangnya di bank,\"lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: