Sektor Migas yang Dibayangi Melejitnya Minyak Mentah, Siap-Siap Harga BBM Naik
Industri migas tahun depan masih bergantung eskalasi global yang menjadi penentu harga minyak dunia. Di sisi hilir, potensi kenaikan BBM membayangi seiring dengan tren kenaikan harga minyak. Di sektor hulu, efektivitas insentif investasi menjadi hal yang ditunggu investor.
HARGA minyak mentah dunia dalam tren merangkak naik. Harga Indonesian crude price (ICP) pada November 2017 naik menjadi USD 59 per barel atau lebih tinggi 9,21 persen dari Oktober 2017 yang mencapai USD 54,02 per barel. Pemerintah pun terbuka untuk kembali menyelaraskan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan fluktuasi harga minyak dunia pada 2018.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM (ESDM) Ego Syahrial menyatakan, jika awal tahun harga minyak mentah tembus ke level USD 60 per barel, pemerintah akan menyesuaikan harga BBM. Per 22 Desember 2017, harga minyak mentah WTI berada di level USD 58,18 per barel. Sementara itu, Brent tembus di angka USD 64,75 per barel.
”Awal 2018 kami lihat jika harga minyak di atas USD 60 per barel, kemungkinan penetapan akan kami sesuaikan,” ujarnya. Bila harga minyak mentah di atas USD 60 per barel, harga premium sangat mungkin ikut terkerek naik. Namun, pemerintah bakal berupaya mencari cara agar harga BBM tetap efisien di tengah kenaikan harga minyak mentah.
Salah satu caranya mengubah perhitungan formulasi harga. Misalnya, mengefisienkan biaya overhead Pertamina. Pemerintah memang berusaha menjaga daya beli masyarakat. Selain mengubah formula harga, pemerintah berencana memperpanjang evaluasi harga BBM. Jika saat ini evaluasi harga ditetapkan per tiga bulan, sangat mungkin penetapan harga dilakukan lebih lama. Yakni, setiap satu tahun.
Penentuan harga energi di Indonesia memang tidak mudah. Pada satu sisi, harus terbiasa disesuaikan dengan harga pasar lantaran Indonesia merupakan importer minyak. Di sisi lain, keseimbangan daya beli masyarakat harus dijaga. Dalam APBN 2018, pemerintah masih menetapkan asumsi harga ICP pada level USD 48 per barel. Sementara itu, per November, ICP terus naik hingga ke level USD 59 per barel.
Naiknya ICP tersebut berdampak pada penerimaan negara yang meningkat pada tahun depan. Subsidi energi juga bakal meningkat. Pada APBN 2018, subsidi energi ditetapkan Rp 94,5 triliun. Perinciannya, subsidi LPG tabung 3 kilogram (kg) mencapai Rp 46 triliun dan subsidi listrik Rp 47,6 triliun.
Manager Retail PSO PT Pertamina (Persero) Boy Frans Justus Lapian mengungkapkan, Pertamina tetap membuka peluang untuk menaikkan harga BBM non-PSO (public service obligation) seperti pertalite maupun pertamax saat harga minyak dunia terus naik. ”Kami belum bisa memprediksi. Sebab, harga minyak dunia memang sangat sulit diprediksi naik maupun turun,” ungkapnya.
Menurut Boy, harga minyak dunia menjadi parameter utama Pertamina untuk menaikkan harga BBM. ”Tetapi, di luar itu, ada indikator lain. Pertamina tetap tidak bisa menaikkan harga secara drastis. Sebab, sangat mungkin, justru pangsa pasar kami yang menurun. Diperlukan banyak parameter untuk menentukan harga BBM,” terangnya.
Tak dimungkiri, persaingan bisnis hulu minyak memang cukup sengit tahun depan. Pendatang baru di sektor tersebut, PT Vivo Energy Nusantara, terbilang agresif untuk membuka 30 SPBU di seluruh Indonesia. Karena itu, di Indonesia, terdapat empat pemain dalam bisnis tersebut. Yakni, PT Pertamina (Persero), Total, Shell, dan PT Vivo Energy Indonesia.
Bukan hanya di sektor BBM, konsumsi LPG tahun depan masih dibayangi membengkaknya kuota LPG 3 kg PSO. Tahun ini Pertamina memperkirakan permintaan LPG 3 kg PSO membesar 1,6 persen dari kuota seharusnya di angka 6,199 juta metrik ton. Dalam APBN 2018, kuota subsidi LPG dicanangkan sebanyak 6,450 juta metrik ton. Angka itu berpotensi membengkak. Sebab, sistem distribusi tertutup yang seyogianya dilakukan pemerintah pada 2018 tertunda.
Distribusi tertutup diprediksi baru dapat dilaksanakan pada 2019 lantaran terkendala verifikasi data. Ego Syahrial menambahkan, dari total 25,7 juta masyarakat miskin di Indonesia, baru 50 persen yang berhasil diverifikasi Kementerian Sosial. ”Verifikasi lapangan ternyata tidak mudah. Tetapi, jika bisa lebih cepat dari 2019, kami tetap usahakan,” tambahnya.
(vir/c16/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: