>

Ternyata Hanya Dipotong 25 Persen, Sanksi Profesor Tak Buat Publikasi Internasional

Ternyata Hanya Dipotong 25 Persen, Sanksi Profesor Tak Buat Publikasi Internasional

JAKARTA – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) berupaya meredam potensi gejolak para profesor terkait kewajiban menulis publikasi internasional. Bahkan ternyata sanksi penghentian pembayaran tunjangan kehormatan untuk guru besar atau profesor tidak dijalankan dengan maksimal.

Ketentuan kewajiban menulis publikasi internasional itu merujuk pada Permenristekdikti 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Terkait ketentuan tersebut, beredar dokumen petunjuk teknis (juknis) implementasi Permenristekdikti 20/2017. Diantara yang diatur di dalam juknis tersebut adalah, pemberhentian sementara pembayaran tunjangan itu tidak dilakukan secara penuh.

Pemberhentian tunjangan diartikan sebagai pengurangan tunjangan kerhomatan sebesar 25 persen dari tunjangan yang diterima setiap bulan. Ketentuan potongan 25 persen itu juga berlaku untuk pembayaran tunjangan profesi dosen berpangkat lektor kepala yang tidak menulis publikasi.

Dengan klausur tersebut, maka sanksi untuk profesor maupun dosen lektor kepala yang tidak menjalankan kewajiban publikasi tidak terlalu berat. Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti Kemenritekdikti Ali Ghufron Mukti belum bersedia komentar banyak terkait sanksi yang cukup ringan itu. ’’Dapat dari mana itu (juknis Permenristekdikti, red),’’ katanya saat dicoba dikonfirmasi kemarin (23/2).

Guru Besar UGM Jogjakarta itu menegaskan ketentuan sanksi bagi para guru besar dan lektor kepala yang tidak menjalankan kewajiban publikasi internasional itu tetap diberlakukan. Tetapi dia mengatakan aturan tersebut, seperti penghentian sementara tunjangan kehormatan profesor, akan dimodifikasi.

Ghufron mengatakan saat ini Kemenristekdikti sedang menggodok regulasi baru terkait kewajiban menulis publikasi internasional tersebut. Dia mengatakan pembahasannya sudah masuk fase finalisasi. Tinggal sinkronisasi di jajaran eselon satu serta evaluasi terakhir dari Menristekdikti Mohamad Nasir.

Pengamat pendidikan Indra Charismiadji melihat cukup aneh kebijakan yang dimabil Kemenristekdikti. Yakni memberikan perpanjangan waktu kepada profesor yang belum menjalankan kewajiban publikasi ilmiah internasional. ’’Kalau alasannya supaya tidak ada gonjang-ganjing itu politis. Mau sampai kapan (kebijakan pendidikan, red) dicampuri urusan politis seperti ini,’’ paparnya.

Indra menjelaskan Kemenristekdikti perlu menegaskan bahwa mereka ingin mendahulukan kepentingan nasional atau kepentingan kelompok. Jika Kemenristekdikti mendahulukan kepentingan nasional, seharusnya segera mengevaluasi para guru besar yang tidak memenuhi kewajiban menulis publikasi internasional itu. ’’Layak tidak mereka menjadi guru besar,’’ katanya. Sebaliknya jika mengutamakan kelompok, wajar memberikan tambahan waktu sampai November 2019.

Menurut Indra sudah saatnya pemerintah memperbaiki SDM bangsa Indonesia. Indra mengatakan penilaian ulang seorang dosen layak atau tidak jadi guru besar memang tidak populis. Dia menjelaskan kalau profesornya saja tidak menjalankan aturan, mahasiswanya lebih kacau lagi.

(wan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: