>

Rupiah Semakin Jatuh ke Zona Merah

Rupiah Semakin Jatuh ke Zona Merah

JAKARTA - Rupiah terus melemah. Kemarin (1/3), kurs tengah Bank Indonesia (BI) melemah 0,63 persen ke level Rp 13.793 per dolar AS (USD). Di pasar spot, Rupiah sempat diperdagangkan di harga Rp 13.810. Sejauh ini, kurs Rupiah terhadap USD masih menjadi yang terendah dalam setahun terakhir. 

Sejak awal Januari 2018 hingga kemarin, tingkat volatilitas rupiah sekitar 8,3 persen. Sementara sejak awal Februari 2018, nilai rupiah telah terkoreksi 2,8 persen. Melemahnya nilai tukar ini tak hanya dialami Indonesia. 

Sejak awal Februari, mata uang negara maju juga melemah. Misalnya, krona Swedia melemah 4,89 persen, dolar Kanada 4 persen dan dolar Australia 4 persen. Poundsterling Inggris juga melemah yakni sekitar 3,8 persen, franc Swiss 1,4 persen, euro 1,7 persen, won Korea Selatan (Korsel) 1,4 persen serta dolar Singapura 1,4 persen. Sementara untuk negara emerging markets, selain rupiah Indonesia yang melemah 2,8 persen, mata uang lain pun ikut turun. 

\"Hungaria melemah 2,9 persen, Brasil 1,9 persen dan India 2,4 persen. Sementara sejak awal tahun 2018, tingkat volatilitas mata uang yuan Tiongkok tercatat sebesar 9,2 persen, won Korsel 8 persen, ringgit Malaysia 11 persen, baht Thailand 10 persen, India 6,3 persen dan Indonesia 8,3 persen,\" papar Kepala Pengelolaan Departemen Moneter Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi saat diskusi bersama wartawan kemarin. 

Menurutnya, tingkat volatilitas mata uang di negara-negara peer yang mempunyai suku bunga tinggi, memang merata bergerak melemah. Kekhawatiran yang sama juga dirasakan pada negara-negara yang memberikan yield surat berharga negara (SBN) besar, seperti India. Seiring terus menguatnya ekspektasi pasar terhadap rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Federal Reserve), yield US treasury pun ikut naik. 

Doddy mengatakan, yield surat utang AS bertenor 10 tahun telah naik 38 basis points (bps) atau sekitar 3 persen sejak awal Januari lalu. Hal itu mendorong yield SBN bertenor 10 tahun juga naik hingga bps 55. Sebab, ada kekhawatiran dana-dana asing yang singgah lewat pasar obligasi dan pasar saham Indonesia kembali \'lari\' ke negara-negara maju. Hal itu memicu yield SBN ikut naik dan mata uang AS pun menguat terhadap mata uang negara-negara lain.  

\"Dengan ruang defisit fiskal di AS yang semakin besar, suplai obligasi di AS membengkak dengan yield yang juga naik. Telebih itu dibarengi dengan capaian ekonomi di AS yang tumbuh terakselerasi, mulai dari pertumbuhan upah, serapan tenaga kerja dan pertumbuhan produksi,\" lanjut Doddy. 

BI, kata dia, tak tinggal diam ketika rupiah mencapai Rp 13.800. Dengan cadangan devisa yang dimilikinya, BI langsung mengintervensi pasar dengan turut masuk ke pasar uang. \"Itu kan terkait taktik dan strategi, kapan kami masuk ke pasar, meski tidak setiap detik. Berapa volume kami masuk, berapa volume intervensinya, itu rahasia. Yang penting, sekarang rupiah sudah berangsur keluar dari Rp 13.800,\" tutur Doddy. 

Melemahnya rupiah kali ini, menurutnya, murni faktor eksternal dan tidak mencerminkan fundamental perekonomian dalam negeri. Sebab, perekonomian Indonesia sejauh ini sudah menunjukkan perbaikan. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu pesat, namun masih mampu tumbuh positif 5,07 persen. Inflasi sepanjang 2017 3,4 persen dan Februari 3,18 persen justru menunjukkan penurunan. Neraca pembayaran pada 2017 masih surplus USD 10 miliar, meski perkembangan ekspor sempat tersendat pada awal tahun ini.

Angka-angka tersebut menunjukkan perbaikan ekonomi. Buktinya, lembaga-lembaga pemeringkat seperti Fitch, Japan Credit Rating Agency (JCRA) serta Standard & Poor\'s (S&P) menaikkan peringkat investment grade untuk Indonesia. Di sisi lain, indeks harga saham gabungan (IHSG) juga masih berada di zona hijau berkat ekspektasi investor dalam negeri yang kuat terhadap perekonomian. \"Kalau dibilang undervalued, level Rp 13.800 itu memang terlalu rendah. Itu tidak mencerminkan fundamental kita saat ini,\" ungkap Doddy. 

Soal melemahnya rupiah yang dapat berdampak pada inflasi, BI tetap tidak mengubah sasarannya. Dalam asumsi APBN 2018, pemerintah menakar sasaran inflasi akan berada di kisaran 2,5-4,5 persen. Angka tersebut menurun dibanding sasaran inflasi pada 2017 yang berkisar 3-5 persen. 

Menurut Doddy, jika harga minyak non subsidi saat ini naik pun, hal itu hanya akan berdampak kecil terhadap inflasi atau tidak sampai 0,5 persen. \"Tapi kalau yang naik itu harga BBM subsidi, baru itu bisa lebih besar dampaknya terhadap inflasi. Tapi kalau pun yang bersubsidi itu naik, kami juga sudah mengantisipasinya sehingga tidak perlu mengubah angka target inflasi,\" ungkap Doddy. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: