OPINI: [Merampok] Uang Itu Sebutannya “KETOK PALU”
(Dosen Hukum Tata Negara Islam UIN STS Jambi)
Perihal kepemimpinan merupakan diskursus politik yang tak akan pernah usang. Sampai kapanpun topik ini akan selalu hangat diperbincangkan. Secara teori, kata kepemimpinan itu berasal dari kata dasar “pimpin” yang berarti bimbing atau tuntun. Dengan begitu di dalamnnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin (umat) dan yang memimpin (imam). Jika ditambah akhiran “an” menjadi pimpinan berarti orang yang mengepalai atau menduduki suatu jabatan dan/atau kewenangan tertentu. Sedangkan jika ditambah awalan “pe” menjadi pemimpin, maka maknanya adalah kemampuan personal seseorang yang dapat berperan dalam proses mempengeruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga kemudian orang lain tersebut bertindak dalam mencapai tujuan tertentu. Jadi jelas, antara pimpinan dan pemimpin adalah dua kata yang berbeda makna. Jika pemimpin lebih kepada aspek personal capability, maka pimpinan adalah authority power.
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai anggota DPRD memiliki wibawa karena status keanggotaannya di level legislatif. Apatah lagi kalau menduduki kursi pimpinan, maka tentu akan jauh lebih bergengsi (prestise). Itu karena jabatan yang didukinya. Begitu pula halnya seorang kepala dinas, kepala kantor atau kepala badan maupun pejabat sekretaris daerah, maka wibawanya terletak pada jabatannya itu. Orang-orang yang prestise ini dalam praktek sosial masyarakat belum tentu memiliki wibawa yang sama sperti halnya kedudukan mereka dalam lingkungan pekerjaannya. Begitulah kira-kira dimensi kehidupan umat manusia yang masing-masing akan berbeda. Beda dalam hidup dan kehidupan begitu pula berbeda dalam perolehan hasil dan penghasilan. Yang terakhir ini adalah perkara pendapatan yang diperoleh dalam praktek pekerjaan seseorang. Beda hasil tidak menjadi masalah tapi berbeda penghasilan akan memicu banyak hal, termasuk kecemburuan dan bahkan sampai kepada konflik dan pertikaian.
Setiap orang dianjurkan berpenghasilan bagus dan kalau dapat berlebih untuk menghidupi dirinya. Tapi dalam mencarinya, kita (jelas) dilarang mempergunakan cara-cara yang tercela, termasuk cara meng-korupsi milik orang banyak.
Dalam persidangan awal pekan kemaren mengungkapkan fakta miris tentang praktek bobrok yang dilakukan oleh (yang terhormat) para pimpinan. Prilaku buruk koruptif menyeruak kepermukaan. Publik menjadi tersadar bahwa ternyata orang-orang yang dipercaya duduk wewakili mereka malah “mengkhianati” kepercayaan itu. Terbukti, para pejabat – yang kini menyandang status sebagai terdakwa – itu kini menjadi pesakitan dan tengah menjalani peradilan dunia. Yang luar biasa adalah persidangan kasus ketok palu ini, kini, dilakukan 2x dalam sepekan. Hal yang jarang terjadi di tanah pseko betuah ini.
Secara terang benderang kasus itu terbuka. Jatah persentase yang mencapai miliaran rupiah dirayah rame-rame dan menjadi bancakan para anggota dewan dengan bahasa uang ketok. Lalu kita bertanya sebegitu parahkah prilaku orang-orang yang diberi amanah jabatan itu dalam menjalankan tugas amanahnya? Sangat miris mendengar dan membaca berita tentang ini di media-media online Jambi.
Seperti terungkap dalam persidangan kemaren bahwa anggota dewan menerima persen dari setiap proyek. Jika dianalisa, apabila anggota dewan biasa dipatok angka 2% dari setiap paket proyek OPD pemerintah propinsi Jambi, maka berapa jumlah uang (kita) rakyat jambi yang dirampok? Belum lagi jatah persentase pimpinan komisi akan berbeda dari anggota dewan biasa. Begitu pula jatah pimpinan dewan, maka sudah tentu akan lebih banyak.
Misalnya, jika anggaran suatu proyek bernilai 10 miliar, maka 2%-nya adalah senilai 200juta. Itu jatah per-anggota. Tinggal dikalkuasi saja berapa uang yang dirampok? Itu baru satu OPD. Bagaimana kalau itu berlaku pada semua OPD yang ada di Propinsi Jambi? Saya berharap, semoga tidak demikian kenyataannya. Meskipun demikian, kini, fakta itu sudah terungkap dalam persidangan dan diketahui oleh publik.
Sehingga jangan heran kalau kontestasi pemilu legislatif akan senantiasa seksi dan ramai kandidat, bak gula yang selalu dikerumuni semut. Ya, begitulah pemilu. Dapat masuk dan bergabung manjadi bagian di dalam “rumah mewah” anggota dewan itu masih selalu menjadi dambaan banyak orang di negeri. Itu baru bicara kontestasi untuk masuk ke level legislatif. Setelah masuk pun ternyata perebutan kursi pimpinan menjadi sesuatu yang menarik. Menduduki kursi pimpinan adalah prestasi sekaligus prestise yang besar bagi seseorang. Ternyata ada konpensasi “persentase” di balik kursi panas pimpinan dewan itu. Lalu, mau dibawa kemana negeri wahai saudaraku?
Perlu difahami, bahwa memegang amanah itu bukanlah perkara mudah. Apapun wujudnya, amanah adalah sesuatu yang sangat berat dipikul. Siapapun orangnya, maka akan tiba masanya untuk memegang amanah. Seperti halnya akan tiba masanya untuk melepaskan amanah tersebut dan mempertanggung jawabkannya di dunia maupun di akherat kelak.
Demikian wassalam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: