>

Wiwik Sumbawati, Tulang Punggung Kesehatan di kaki Tambora

Wiwik Sumbawati, Tulang Punggung Kesehatan di kaki Tambora

Wiwik sendiri sudah dari puluhan tahun lalu tidak hanya menangani persoalan ibu hamil. Akan tetapi hampir semua penyakit yang diderita warga. Ia tentu bisa. Sebab pendidikan pertama sebelum menempuh pendidikan kebidanan, dia menempuh pendidikan di Sekolah Perawat Kesehatan, sekolahnya para mantri. Sampai sekarang, sebagai Bidan di Kecamatan, pekerjaan utama Wiwik adalah berusaha mengurangi angka kematian bayi di kecamatan Pekat. Di mana musuh utamanya adalah pernikahan di usia dini.

“Tahun lalu ada dua kasus. Tahun ini belum ada. Semoga tidak ada ya,” kata Wiwik yang mengaku belum lama ini menjadi koordinator.

Merangkul Dukun

Tahun 1998 Bidan Desa Wiwik Sumbawati pindah tugas dari Desa Kempo ke Kadindi.  Tiba di tempat tugas baru, Wiwik disambut tingginya angka pernikahan dini yang menyebabkan banyaknya perempuan yang hamil di usia muda. Bahkan kelewat muda. Akibatnya ia menangani proses persalinan setiap hari.

Setiap hari ia mengurus persalinan warga Desa Kadindi seorang diri. Dari perbatasan Pancasila sampai Karombo sana. “Dulu belum ada sepeda motor. Saya harus jalan kaki dari ujung ke ujung,” kata Wiwik.

Tahun itu keberadaan dukun beranak masih banyak. Hampir di setiap dusun ada. Salah satu tugas seorang bidan desa adalah sedapat mungkin merangkul dukun melahirkan guna mengurangi risiko yang tidak diinginkan. Untuk itu, Wiwik punya cara sendiri.

Pertama ia mendata jumlah dukun yang ada. Hal itu dilakukan bersamaan dengan pemetaan ibu hamil di desa. Saat itulah ia mengenal Doriwanto yang pada saat itu masih menjadi ketua Karang Taruna Desa Kadindi. Singkat cerita, kedekatan ketua Karang Taruna dengan bidan desa berujung di pelaminan. Sekarang, Doriwanto menjadi kepala desa Kadindi. Mereka memiliki dua orang anak. Eh, kok malah ngelantur ke pernikahan ya?

Kembali ke siasat Wiwik merangkul dukun beranak. Wiwik menanyakan berapa upah jasa yang didapatkan si dukun untuk sekali persalinan. “Misalnya dia dapat Rp 20 ribu dan 3 kilo beras, maka saya memintanya membawa pasien ke Polindes dan mendapatkan Rp 50 ribu dari saya. Dengan cara itu mereka mau,” kata Wiwik.

Bertahun-tahun, Wiwik melakukan cara itu untuk bisa bersama-sama menangani persalinan ibu hamil di Kadindi. Menurutnya, pengalaman menjadi bidan Desa di Kadindi sangat mengesankan. Terutama bila mengingat proses menangani persalinan ibu hamil berusia 12 tahun.

“Itu yang termuda,” kata Wiwik.

Waktu itu Wiwik belum memiliki jam terbang yang tinggi. Namun bukan berarti ia kaget dan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengatakan ilmu yang didapatkan sudah cukup untuk menangani semua proses persalinan. Termasuk menangani yang dibawah umur sekalipun. Tentu risiko terjadinya pendarahan karena rahim yang masih sangat muda bisa terjadi. Namun beruntung Wiwik mengetahuinya sejak dini.

“Alhamdulillah, waktu itu proses persalinan berhasil. Ibu dan anak selamat dan sehat,” terang Wiwik sembari mempersilahkan Lombok Post menghabiskan buah melon yang terhidang.

Kini Bidan Wiwik sedang gencar memberikan edukasi kepada warga. Jangan sampai pernikahan dini terjadi, lantaran begitu riskannya rahim yang masih terlalu muda harus terisi. Bersyukur ia punya suami yang juga bertanggung jawab untuk itu. Di luar obrolan rumah tangga, sesekali perbincangan mengenai persoalan warga mereka lakukan juga. Semua untuk Kadindi.

(*/r8)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: