Minta MK Percepat JR Presidential Threshold
JAKARTA – Gugatan judicial review (JR) terhadap syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sangat mepet dengan waktu pendaftaran calon presiden-wakil presiden. Agar tidak mengganggu tahapan, Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan mempercepat proses pemeriksaan.
Jimly Asshiddiqie, mantan ketua MK yang juga ahli hukum tata negara, menyatakan bahwa waktu yang tersisa untuk MK memang sangat sempit. Namun, idealnya putusan harus dikeluarkan sebelum tahapan pilpres dimulai. Aturan yang berubah di tengah tahapan akan menyulitkan. ”Sebaiknya putusan dipastikan sebelum pendaftaran (capres),” tuturnya kepada Jawa Pos kemarin (18/6).
Namun, jika dalam putusannya ada perubahan dan itu terjadi di tengah tahapan, Jimly mengusulkan agar pemberlakuan diterapkan pada pemilu selanjutnya. ”Misalnya ya, ini kita main bola, sudah masuk lapangan, kalau ada perubahan aturan itu berlaku buat pertandingan yang akan datang,” kata pria kelahiran Palembang tersebut menganalogikan.
Untuk diketahui, gugatan terhadap syarat PT diajukan 12 aktivis dan mantan pejabat negara. Di antaranya Busyro Muqoddas (mantan ketua KPK dan KY), Chatib Basri (mantan menteri keuangan), Faisal Basri (akademisi), Hadar N. Gumay (mantan pimpinan KPU), Bambang Widjojanto (mantan pimpinan KPK), dan Titi Anggraini (direktur eksekutif Perludem).
Mereka menilai syarat PT 20 persen yang diatur dalam UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya, konstitusi hanya menyebutkan syarat partai politik atau gabungan partai politik tanpa embel-embel 20 persen. Selain itu, PT 20 persen menghambat lahirnya capres-capres alternatif. Namun, sebelumnya MK pernah membuat putusan dan menilai PT konstitusional.
Jimly sendiri mengaku sepakat dengan pendapat yang diajukan para penggugat. ”Kalau mau ideal, memang gak usah ada threshold. Sebab, ini pemilu serentak,” tuturnya.
Titi Anggraini mengatakan, JR sudah didaftarkan secara online pada 13 Juni lalu. ”Kami optimistis dikabulkan. Tidak ada alasan untuk tidak optimistis. Karena ini perjuangan untuk kebaikan,” ucapnya saat dihubungi Jawa Pos (Induk Jambi Ekspres) kemarin.
Perludem sebenarnya pernah mengajukan gugatan serupa, tapi ditolak MK. Sekarang bersama para aktivis lain pihaknya pun ikut menjadi penggugat. JR kembali diajukan karena pihaknya menginginkan terwujudnya demokrasi yang konstitusional di Indonesia. Bukan malah memberlakukan suatu aturan yang tidak logis berupa ambang batas yang merujuk hasil pemilu lima tahun sebelumnya.
Titi menegaskan, pengajuan gugatan itu tidak berkaitan dengan kepentingan politik salah satu peserta pemilu. Jalur hukum ditempuh murni untuk mewujudkan demokrasi konstitusional. ”Yang kami perjuangkan adalah nilai-nilai demokrasi yang sejalan dengan pengaturan konstitusional dalam UUD 1945,” ucap ibu satu anak itu.
Menurut Titi, penerapan ambang batas pencalonan presiden merupakan bentuk inkonsistensi reformasi sistem politik. Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas itu menjadikan kebebasan rakyat sangat terbatas dalam memilih capres. ”Pasal 222 tidak sesuai dengan UUD 1945,” tegas alumnus Universitas Indonesia tersebut.
(lum/far/c9/oni)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: