PARADOKS PENDIDIKAN KITA

PARADOKS PENDIDIKAN KITA

BEBERAPA waktu lalu publik kembali dikejutkan dengan sebuah ironi. Seorang guru di-bully dan ditantang oleh siswanya di ruang kelas, persis di depan siswa-siswa yang lain, hanya karena sang guru melakukan kewajibannya memberikan teguran kepada si siswa yang memang nyata-nyata bersalah.

Kejadian di sebuah SMP di Gresik ini bukan kejadian pertama yang mencoreng wajah pendidikan kita. Sebelumnya, pada tahun 2015 seorang guru SMK di Tangerang dibacok siswanya. Pada  2017 seorang guru SMK di Makassar dihajar oleh seorang siswa dan orangtuanya hingga babak belur. Selanjutnya pada Februari 2018, seorang guru SMA di Sampang Madura dianiaya oleh seorang siswanya hingga berujung maut.

Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus tersebut baru sejumlah kasus yang menjadi viral karena terekspos ke ruang publik, kasus-kasus serupa yang tidak terliput media tentu sangat mungkin lebih banyak, apalagi bila digabungkan dengan jumlah guru yang terpaksa harus berhadapan dengan kasus hukum karena usahanya untuk mendisiplinkan siswa yang tidak berkenan di hati orang tua.

Pertanyaannya, kenapa kejadian memilukan sekaligus memalukan ini terus terjadi, bahkan dalam frekuensi yang cenderung meningkat? Jawaban pasti dari pertanyaan ini adalah karena ada masalah dalam tubuh pendidikan kita. Apa masalahnya?

Pertama, dalam perspektif riset, masalah terjadi karena adanya diskrepansi antara das sollen dengan das sein, antara idealita dengan realita. Secara sederhana, rumusan ideal tentang apa yang hendak dicapai oleh sebuah sistem biasanya dicantumkan dalam tujuan dan strategi pencapaiannya. Tujuan menurut Ahmad D. Marimba (1962:45-46) antara lain berfungsi untuk mengarahkan usaha, sedangkan strategi merupakan road map yang disusun untuk mencapai tujuan.

Dengan demikian, semua usaha yang dilakukan idealnya selalu berada dalam kerangka strategi yang telah ditetapkan dan selalu mengarah pada upaya pencapaian tujuan.

Dalam konteks pendidikan, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional Pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan tersebut, pada bagian umum penjelasan undang-undang sistem pendidikan nasional disusun strategi pembangunan pendidikan nasional yang meliputi 13 langkah strategis, di mana langkah pertamanya adalah pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia.

Langkah strategis ini kemudian diterjemahkan dengan baik ke dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang menjadi pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik. Dari 17 kompetensi yang harus dikuasai untuk dapat lulus dari tingkat SD/sederajat, 21 kompetensi untuk tingkat SMP/sederajat, dan 23 kompetensi untuk tingkat SMA/sederajat, pengamalan ajaran agama dan akhlak mulia menempati peringkat pertama dari kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.  

Ada yang menarik untuk dicermati dari rumusan kebijakan pendidikan nasional ini. Mulai dari tujuan, strategi pembangunan hingga SKL semuanya menempatkan persoalan iman, takwa dan akhlak mulia pada skala prioritas.

Bila ditarik lebih ke hulu, prioritas kebijakan pendidikan nasional ini linear dengan pandangan hidup bangsa yang terangkum dalam pancasila, khususnya sila pertama dan kedua. Sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa arah pendidikan nasional kita pada tataran konseptual sebenarnya sudah sejalan dengan falsafah hidup bangsa. Masalahnya sekarang, apakah konsep pendidikan nasional itu berhasil diterjemahkan dengan benar ke dalam langkah-langkah operasional praktik pendidikan kita?

Di sinilah paradoksnya. Kenapa paradoks? Karena langkah-langkah operasional pendidikan kita ternyata tidak mengikuti arahan konseptualnya. Jika secara teoritis pendidikan kita lebih dimaksudkan untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, maka pada praksisnya upaya pendidikan kita ternyata tidak kuat mengarah ke sana.

Indikator yang paling mudah dilihat antara lain adalah: Minimnya alokasi waktu untuk pelajaran agama di sekolah; Tidak adanya mata pelajaran khusus akhlak mulia dalam struktur kurikulum, kalaupun ada, alokasi waktu yang tersedia sangat minim; Ketika anak pertama kali dimasukkan ke institusi pendidikan, hal pertama yang diberikan adalah biasanya adalah pengenalan huruf dan angka, bukan dasar-dasar agama dan akhlak mulia; Dinomorduakannya pengamalan agama dan akhlak mulia sebagai konsideran dalam menetapkan berbagai keputusan tentang siswa, seperti kenaikan kelas, siswa berprestasi, kelulusan, dan sebagainya.

Meskipun secara teoritis dalam kurikulum 2013 diisyaratkan penilaian terhadap aspek afektif siswa, namun dalam prakteknya aspek kognitif tetap menjadi tolok ukur utama; Hilangnya mata pelajaran akidah akhlak dalam ujian akhir berstandar nasional di madrasah mulai tahun pelajaran 2018/2019 ini; Adanya upaya untuk mengaburkan makna akhlak dalam proses pendidikan. Lihat istilah yang belakangan ini ramai digaungkan! Kenapa harus menggunakan istilah pendidikan karakter? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: