DISWAY: Cancel Culture
Rabu 27 January 2021
Oleh : Dahlan Iskan
Apa kesibukan utama saya selama 14 hari di rumah sakit Covid?
Yang paling banyak adalah nonton wayang kulit. Lewat YouTube. Lalu membaca –termasuk yang berat-berat seperti filsafat cancel culture.
Tidak terhitung berapa lakon yang saya lihat. Yang terbanyak yang dimainkan dalang-kondang-mati-muda Seno Nugroho. Yang dari Jogja itu. Begitu kagum saya padanya.
Lalu, untuk objektivitas, saya lihat lagi beberapa lakon yang dimainkan Ki Manteb Sudarsono.
Lalu, sebagai pembanding, saya nonton juga beberapa lakon yang dimainkan dalang muda Bayu –putra dalang kondang Anom Suroto.
Dan tiba-tiba saya ingin nonton lagi pergelaran lama dalang legendaris masa lalu –almarhum Ki Narto Sabdho. Meski yang terakhir ini hanya mendengar suaranya –belum ada teknologi video zaman tahun 1960-1970 itu.
Sebenarnya sudah terlalu banyak lakon dari Narto Sabdho yang pernah saya dengar. Dari kaset. Satu lakon 12 kaset. Belum ada CD apalagi DVD atau USB.
Saya perlu melihat/mendengar semua itu agar tahu di mana posisi Seno Nugroho. Saya kan juga penggemar dalang-mati-muda lainnya: Ki Enthus Susmono. Yang saat meninggal menjabat sebagai Bupati Tegal –yang kelihatannya mengatur satu kabupaten lebih sulit dari mengatur satu kerajaan Hastinapura.
Seno memang istimewa.
Ia dalang untuk zamannya –zaman milenial ini. Ia melangkah lebih ke kekinian dari gurunya: Ki dalang Manteb Sudarsono. Ia beda benar dengan bapaknya: dalang Suparman.
Rasanya gaya Seno tidak akan lahir tanpa Ki Manteb –yang memang diakuinya sebagai gurunya.
Pak Manteb memang perintis adegan flash back dalam wayang –sepengetahuan saya. Gaya film beliau adopsi ke wayang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: