DISWAY: Porang Glukomanan
Selasa 23 February 2021
Oleh : Dahlan Iskan
PETANI porang kini merambah ke mana-mana. Pun sampai ke Riau. Juga Sumbawa. Tidak lagi hanya di Jateng dan Jatim.
Di Gunung Kidul merajalela. Di Ponorogo demikian juga. Pun Pantura seperti Tegal dan Batang.
\"Apakah ini tidak berbahaya? Apakah harga tidak akan jatuh?\" tanya seorang peserta seminar Zoom yang diadakan Paguyuban Petani Porang Nasional kemarin.
Saya tidak bisa menjawab. Saya sendiri terheran-heran. Tujuh tahun lalu, ketika saya ke Purwodadi dan Blora, masih sulit meyakinkan petani untuk menanam porang.
Tapi hasil menanam porang memang meyakinkan. Harga pun masih terus naik –sampai saya sendiri miris. Harga yang terlalu baik justru tidak baik. Bisa jadi, suatu saat akan berubah jadi bencana: ketika benih sudah ikut naik, jangan sampai harga tiba-tiba jatuh. Petani bisa rugi.
Sampai hari ini harga porang masih terus tinggi. Bisa Rp 8.000/kg. Padahal biaya tanam dan rawatnya sangat rendah. Hanya sekitar Rp 2.000/kg. Maka banyak petani porang sangat menikmatinya. Lalu, tanpa dikampanyekan pun, petani tergerak sendiri untuk tanam porang.
Yang jelas Indonesia masih impor glukomanan. Sampai sekarang. Impornya masih 100 persen pula.
Glukomanan atau konjak, bahan bakunya harus dari porang. Kita hanya bisa ekspor porang dalam bentuk umbi. Belakangan mulai berdiri beberapa pabrik tepung porang. Tepung itu mereka ekspor. Lumayan. Maju selangkah. Tepung porang itulah yang jadi bahan baku pabrik glukomanan di luar negeri.
Petani porang adalah petani yang paling mandiri. Pupuknya tanpa subsidi. Pasarnya bebas. Penyuluhannya dari sesama petani.
Saya bangga dengan itu. Mereka tidak ingin pemerintah membantu –ujung-ujungnya justru bisa bikin repot. Dan bikin ketergantungan.
\"Lebih baik seperti ini. Jangan cengeng,\" kata saya pada mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: