DISWAY: Kecewa Skala 9,5
Maka, katanya di acara pelepasan gelar guru besarnya di Refly Harun YouTube Channel, lebih baik ekspor jangan dilarang. Hanya saja harus ada kewajiban bagi eksporter untuk melakukan budidaya lobster di dalam negeri. Harus dengan teknik budidaya dari Vietnam. “Dengan demikian ekspor kita ke Vietnam bisa dimanfaatkan untuk alih teknologi,” katanya.
Effendi merasa mendapat serangan balik dari para penyelundup benur lobster. Yang nilai bisnisnya triliunan rupiah per tahun.
Serangan itu sampai ke soal pribadi. Lewat isu-isu yang sengaja diciptakan. Misalnya: Effendi mendapat fasilitas ratusan ribu paket bantuan sosial dari pemerintah.
Isu itu memanfaatkan terbongkarnya kasus korupsi bansos oleh menteri sosial dan kelompoknya.
Serangan tersebut juga memanfaatkan terbongkarnya kasus korupsi benur oleh menteri perikanan dan kelautan dan jajarannya. Effendi di frame ada di pusaran itu.
Frame tersebut, kata Effendi, dibuat melalui karya jurnalisme. Nama Effendi sering disebut dalam berita. Sampai-sampai ia dipanggil ke KPK –meski hanya sebagai saksi.
Itu saja bagi Effendi sudah dianggap merusak reputasinya. Terutama sebagai pejuang demokrasi, pejuang anti korupsi, dan pejuang kebebasan pers.
Effendi begitu kecewa mengapa banyak wartawan bisa diajak berkomplot seperti itu. Ia kecewa sekali. Sampai ia kembalikan gelar profesornya ke negara.
Apa pun, Effendi Gazali telah bikin sejarah. Di zaman buzzer seperti ini, jurnalisme memang berada di lautan polutan. Jurnalisme profesional benar-benar di ambang kehancuran.
Itu bermula dari zaman reformasi. Yakni ketika siapa pun bisa bikin koran apa pun. Akibatnya wartawan dari ”koran serius” menjadi minoritas.
Di sebuah konferensi pers, wartawan sungguhan justru bisa merasa malu menjadi wartawan. Terutama saat melihat wartawan berebut amplop –sampai kantong baju panitianya robek.
Waktu itu saya sampai mengusulkan program ratifikasi. Caranya: sejumlah media profesional membuat aturan profesional. Termasuk sistem kesejahteraan wartawan sampai ke jenjang karir. Juga soal ketentuan wartawan harus melakukan apa kalau tulisannya ternyata salah.
Koran yang setuju dengan aturan itu meratifikasi. Ia mengikatkan diri pada ketentuan profesionalisme itu. Bagi koran yang telah melakukan ratifikasi akan diberi tanda khusus di dekat logo halaman depannya. Itu pertanda bahwa koran tersebut bisa dipercaya. Dengan demikian publik tahu mana koran yang profesional dan tidak.
Masalahnya, sekarang ini koran sudah kurang relevan lagi. Ketidakpuasan pada jurnalisme umumnya datang dari media online. Juga dari medsos.
Jurnalisme kini begitu mudah dijadikan alat apa saja. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: