Behind: Impossible

“Apa yang paling berpengaruh pada waktu kehidupan manusia? Detik, karena hanya butuh satu detik untuk merubah segala apa yang diekspetasikan manusia, entah itu menghancurkan manusia itu sendiri atau mengubahnya menjadi lebih baik.”
-Sanu
Tau mengapa tuhan menciptakan sebab-akibat? Karena Tuhan ingin memberi tahu hambanya agar tidak berlaku semaunya pada apa yang Ia kasihi, namun sebagian dari apa yang Dia ciptakan dengan sempurna seolah meminta menjadi tuli dan buta, tak ingin mendengar apa yang ia perintahkan dan buta terhadap apa yang Ia larang.
Kirana tersenyum miris, mengapa harus dia yang menjadi salah satu mahluk tuhannya yang paling beruntung dalam penyeselan. Kirana meratapi kehidupannya, dirinya tersenyum senang namun juga menangis perih, ingin mencaci namun pada siapa? Pada tuhannya? Kirana bukan hamba tak tau diri yang sudah diberi kemudahan malah memaki meminta keadilan kepada Dia yang tidak pernah salah.
Kirana memandang bulan, temeram cahayanya cukup menghangatkan Kirana, setidaknya hatinya tidak merasa sesesak saat ia harus mengungkap hal yang paling tidak ia ingin ingat kepada Sanu. Mengingat ayahnya, hati Kirana teriris perlahan. Kirana mencintai ayahnya, sejahat apapun ayahnya dan betapa tidak pedulinya ayahnya padanya, ayahnya akan tetap menjadi cinta pertamanya bagi Kirana, namun hal yang sangat disayangkan Kirana pada ayahnya adalah, ayahnya lah yang menjadi luka pertama di hatinya, dalam diamnya, ada setitik air mata yang jatuh yang tak pernah ia ingin jatuhkan, namun ia tak bisa menahannya.
Tangis diamnya tak mampu ia tutup rapat, dari balik punggung mungil yang selalu terlihat tegar itu ada suara tangis tertahan, isakan pilu yang tak pernah ia tunjjukan pada siapapun. Bahunya bergetar, tangisnya pecah, ia tak sekuat itu untuk menahan tangisnya lagi, dirinya tak sekuat itu. Kirana memeluk dirinya pelan, seolah menguatkan jangan sampai ia kembali jatuh ke lubang yang sama, pernah merasa itu menyakitkan maka jangan merasakan itu untuk kedua kalinya.
Kirana tidak tahu kapan secara pasti dirinya terlelap dan merasa tentram dalam tidurnya, yang ia ingat ia masih menangis, namun perlahan ia mulai merasa lelah, sebelum rasa kantuk benar – benar menyambut dirinya, samar – sama ia mendengar suara yang sangat familiar, suara dengan kata yang selalu ia dengar di setiap perjuangannya.
“Kak Veera,”
***
Sanu menatap kosong pada langit – langit rumah yang tak tahu milik siapa, mungkinkah milik Veera atau harus ia panggil Kirana. Sanu kembali memikirkan setiap ucapan Kirana, ini terlalu mengejutkan untuknnya. Disaat dirinya merasa memiliki keluarga bahagia yang sempurna, ada lubang besar yang tak pernah ia sadari ada di kelurganya, mengapa dirinya buta untuk melihat semua itu, semuanya terlalu kasat mata, hingga Sanu sulit untuk menyadarinya.
Sanu beranjak dari tempatnya, mencari Kirana untuk mendengarkan semua penjelesan dari apa yang ia dengar. Sanu berdiri di ambang pintu menatap Kirana yang terduduk di beranda rumah menatap langit, pada benaknya, Sanu bertanya –tanya, sekiranya apa yang Kirana tatap, bulan, bintang, atau tak menatap satupun dari yang ia maksud, pada pancaran mata Kirana, Sanu seolah menyadari ada luka besar yang Kirana tutup mati – matian, yang ia simpan rapat hingga semua orang tidak tahu bahwa Kirana tengah sakit, ia menderita.
Sanu tak ingin menggangu Kirana, Sanu hanya menatap Kirana dalam diam, lama menatap Kirana, Sanu melihat Kirana menangis, siapapun yang mendengar tangis Kirana maka tak seorang pun akan menyangkal bahwa tangis Kirana terlalu menyayat hati, siapapun akan tahu bahwa Kirana tidak sedang baik – baik saja, prihatin namun Sanu bukanlah orang yang akan peduli pada hati orang lain sedang hatinya saja sedang Hancur tanpa wujud. Jahat? Sanu tidak tau, namun itulah yang ia rasakan.
Perlahan tangis Kirana mereda, selaras dengan mata Kirana yang sayup – sayup mulai menutup, khas perempuan, setiap tangisnya pasti ada lelah yang membuatnya tentram dan tertidut tanpa sengaja, Sanu tersenyum tipis, tidak ada niat sama sekali untuk memindahkan Kirana agar tidur di tempat yang lebih nyaman atau mengingatkan Kirana bangun agar tidur di dalam. Bukan Sanu tak peduli, namun ia memberi ruang untuk Kirana sendiri, terkadang ada beberapa kondisi, dimana kepedulian pun tak akan berarti jika kau ingin sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: