
Aditia Windi, perempuan pertama yang memenangkan hati Cipta selain bunda, tidak ada yang tahu pasti arti kata memenangkan dari seorang Cipta, karena Cipta bukanlah pribadi yang mudah diterka begitu saja. Bukan karena alur pikir Cipta yang rumit, melainkan karena sederhananya alur pikir Ciptalah yang membuat intristik Cipta bergitu menarik, penuh tanya, dan tak pernah terduga.
Mungkin jika Cipta memiliki saudara perempuan, maka gambaran yang paling pas adalah Windi, dengan rambut ikal sebahu, wajah bulat dan pipi yang merah serta mata sipitnya sangat mirip dengan bunda versi muda dulu, mungkin jika Cipta ditanya salah satu alasan mengapa ia menyukai Windi adalah ketidaksengajaan wajah dan sifat yang ia miliki dengan mirip dengan bunda.
Seperti biasa di hari minggu, Windi akan menghabiskan waktunya membaca buku di taman Batu, tidak ada alasan khusus selain karena Taman Batu merupakan taman yang paling dekat dengan rumahnya, hanya berjarak sekitar lima meter dari rumahnya jika Windi tidak salah mengira. Kali ini, judul buku bacaan Windi jatuh pada novel klasik karya Charles Dicken dengan judul A Tale of Two Cities.
Ini bukan pertama kalinya Windi membaca buku dengan judul yang sama setiap minggunya, seperti Cipta yang jatuh cinta pada aroma kayu manis, begitupula Windi yang jatuh Cinta pada setiap untaian kata di buku tua tersebut. kata – katanya diracik dengan sempurna, berpadu harmonis dengan setiap irisan adegan yang akan dibayangkan pada mereka yang membacanya, ironisnya tidak ada akhir bahagia untuk mereka yang mengharapkannya, seperti Windi sekali.
Pada lapisan masyarakat, Windi ditatap dengan tatapan memuja, dirinya layak dikemas menjadi yang paling sempurna, digadang – gadang sebagai orang yang paling bahagia, bentuk dimana tidak akan ada kekecewaan yang akan menghampirinya, tidak ibunya, tidak temannya, semuanya sama saja. Mereka hanya tau seorang Aditia Windi dengan nasib baik tanpa Cela, tak kah mereka sadar bahwa Windi adalah objek paling terluka dari semua pengharapan mereka.
Sesekali ingin rasanya Windi berteriak tepat dihadapan mereka, mengungkapkan segala kata yang tak pernah tersampaikan, celaannya, gerutuannya, keluhannya, apa saja asal dirinya merasa lega, namun itu semua hanya angan belaka semata, karena helaan nafas lelah adalah teman satu – satunya. Windi pikir hidupnya akan berputar dengan skema yang selalu sama, tak terbesit di akalnya bahwa kehadiran Cipta akan merubah segalanya, terutama pada hatinya.
Windi tidak akan pernah lupa temeram sore di sekolah, bersamaan dengan bel pulang yang berbunyi tanda selurah pelajaran telah usai berhamburan siswa dan siswi, berdesakan diantara gerbang sekolah yang belum terbuka sempurna, ada Cipta yang tak sengaja menatapnya, dan dengan mudahnya mengatakan bahwa Cipta jatuh cinta pada dirinya.
Windi pikir Cipta hanya bermain – main dengan perkataannya, seperti umumnya remaja lelaki, sebagai pera pujangga mereka berkelana dari satu hati ke hati lainnya, mencari tambatan paling sempurna sebagai tempat berhenti, entah untuk sekedar singgah melepas lelah atau menetap untuk selamanya.
“Windi,” Panggil Cipta, merasa dirinya dipanggil, Windi mencari gerangan siapa yang memanggilnya dan kala ditemukannya itu Cipta, hanya kerutan samar di dahi Windi yang Cipta tampak sebagai balasan panggilannya, pertanda jika Windi bingung. Cipta berjalan mendekat menuju tempat Windi berdiri.
“Cipta,” Sebut Cipta pada Windi mengulurkan tangannya, Windi menatap Cipta bingung, bertanya – tanya untuk apa uluran tangan itu. Cipta meraih tangan Windi, menjabat tangan Windi lalu menatap Windi sambil terkekeh pelan.
“Kenalin, Rifai Aksel Cipta, cukup panggil Cipta, sayang juga nggak apa – apa,” Kenal Cipta sekali lagi pada Windi, Windi tidak tahu harus merespon seperti apa selain mengangguk dan mengenalkan dirinya juga.
“Aditia Windi, Windi.” Balas Windi singkat, bingung dengan apa yang ia lakukan, mengapa tiba –tiba tubuh dan otaknya berjalan lambat.
Cipta mengelurkan satu toples permen yupi dari tasnya dan menaruhnya di tangan Windi, “ini buat Windi,” Ujar Cipta, “Kata Saka, Windi suka permen yupi, Cipta juga sering liat Windi diam – diam makan permen yupi di perpusatakaan waktu baca buku. Kalo Windi nggak suka, jangan dibuang ya! Kasih aja sama anak – anak atau yang lain, karena diluar sana banyak yang suka,” Lanjut Cipta lagi.
“Eh?” ujar Windi bingung, melihat setoples permen yupi ditangannya dan Cipta bergantian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: