>

 

 

“Ada dua pilihan, petama menetap untuk selama dengan gelar pecundang atau berusaha menjadi seorang pemenang?”

-Jeje

Cipta menunggui Windi pulang, jika biasanya Cipta akan menunggu Windi pulang di depan gerbang sekolah, kali ini tidak, Cipta menunggui Windi tepat di depan kelasnya, Cipta tidak tau apa yang merasukinya hingga menunggui Windi di depan kelasnya, padahal berulang kali Windi sering katakan bahwa Windi tidak suka jika Cipta menungguinya di depan kelas, Windi merasa tidak nyaman.

Bel pulang sebenarnya sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu, beberapa orang yang Cipta kenali sebagai teman sekelas Windi sudah keluar, ada juga sebagian dari mereka masih di dalam kelas. Cipta tidak dapat memastikan bahwa Windi masih di dalam kelas atau tidak, kerena gorden menghalangi pandangan Cipta untuk melihat ke dalam kelas dan pintu kelas Windi selalu tertutup. Satu jam, tidak ada tanda – tanda kemunculan Windi sama sekali sedari tadi, Cipta tersenyum nanar.

“Cipta,” Panggil seseorang siswi berambut pendek, Cipta tidak mengenali siswi itu, hanya sebatas tau bahwa siswi itu merupakan teman sekelas Windi.

“Nungguin Windi ya?” Tanyanya, “Iya,” balas Cipta. Siswi tersebut tersenyum manis pada Cipta dan mengunci pintu kelas, yang artinya tidak ada siapapun lagi didalam kelas itu, tidak ada Windi, siswi itu menjadi yang terakhir.

“Windi udah pulang dari tadi, dia nggak ngabarin lo ya? Tadi, Windi pulang lebih dulu sama Saka, kurang lebih lima menit sebelum bel-lah pokoknya, karena tadi pas jam terkahir kelas kita jamkos,” Ujar siswi tersebut, “Gue duluan ya Cipta,” Pamit siswi tersebut meninggalkan Cipta sendirian duduk termangu.

Di hari siang menjelang sore itu, langit terasa cerah berlawanan dengan perasaan Cipta yang muram. Cipta meghela nafas pelan dan tertawa getir, bertanya – tanya sampai kapan dia harus seperti ini? Cipta tidak sedih, tidak pula kecewa, tidak ada rasa yang mendominasi dirinya saat ini.

Cipta beranjak dari duduknya, dipasangkannya earphone di telinganya, tidak ada musik yang terdengar, karena saat ini Cipta tidak ingin mendengar apapun, dia hanya ingin menyumpal telinganya agar tidak mendeger suara bising yang menganggunya. Semuanya tampak sama, seperti manusia pada umumnya, Cipta terbiasa untuk merasakan hal yang sama berkali – kali, sama seperti sebelumnya, lagi dan lagi Cipta hanya akan berpura – pura tidak tahu apa – apa.

***

Malam itu Cipta tidak pulang ke rumahnya, dirinya terpekur di depan piano tua milik Tok Shos. Kali ini, Cipta tidak kabur dari bundanya, Cipta mengabari bundanya bahwa ia akan menginap di Toko Sepatu Tok Shos. Di samping piano tua itu, ada selembar kertas tergolek yang dibiarkan begitu saja oleh Cipta.

Mata Cipta merenung jauh, pikirannya kosong, Cipta tidak tahu pasti apa yang membuatnya gamang hingga seperti ini, namun, jika ditanya mungkin salah satu jawaban yang bisa Cipta berikan adalah Windi. Tepukan di bahu Cipta membuat Cipta tersentak kaget, dan sebuah bungkusan gorengan lima ribuan dengan dua keleng Cola kesukaan Jeje terpatri di depannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: