>

“Tau bakal kalah, tapi apa salahnya buat mencoba?”

-Cipta

>>>***<<<

Cipta terus menghembuskan nafasnya berkali – kali, selama di ruang tunggu, tidak sekalipun Cipta merasa tenang. Ini adalah hari dimana ia harus membuktikan kemampuannya selama ini, Cipta gugup, khawatir, cemas. Perasaannya carut marut, beraduk – aduk menjadi satu perasaan yang Cipta rasa berdampak pada tubuhnya. Perut Cipta juga terasa tak enak, aneh dengan gelanyar yang selalu Cipta rasakan kala ia merasa cemas berlebihan. Cipta berlari cepat kearah kamar mandi yang ada diruang tunggu dan memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset.

“Heok,”

“Hoek,”

Hampir 5 menit Cipta memuntahkan isi perutnya, tubuhnya tak bertenaga, kepalanya terasa pusing, dan dirinya tidak bersemangat. Cipta menghempaskan tubuhnya sembarang, berbaring pada pundak Magenta. Sedang Magenta, Cipta tidak dapat memastikan apa Magenta benar – benar tertidur atau tidak, karena Magenta hanya memejamkan matanya sedari tadi, sejak mereka tiba di ruang tunggu hingga sekarang, Magenta tidak bergerak, duduk di sofa tenang dengan mata terpejam layaknya patung.

“Magenta,” panggil Cipta.

Tidak ada gubrisan, apa yang Cipta harapakan? Mendengar Magenta berbicara saat ini sama saja dengan gila, sudah jelas Magenta tak bisa bicara mengapa ia malah berharap Magenta bersuara. Cipta tersenyum tipis, membayangkan bagaimana rupa Magenta jika sahabatnya ini berbicara, kira – kira bagaimana suara Magenta? Apa itu seperti suara anak kecil dengan suara imut dan lucu, atau seperti suara bunda yang selalu cerewet setiap paginya, atau seperti suara ayah yang berat dan sedikit serak, atau seperti suara Jeje yang selalu melengking, atau seindah suara Windi? Membayangkannya membuat Cipta tertawa pelan.

Cipta memejamkan matanya, guna menenangkan pikiran dan hatinya. Dan sebuah pelukan hangat dan sapuan tangan lembut yang terus mengusap punggungnya membuat Cipta merasa lebih baik. Pelukan itu hangat, seperti pelukan bunda. Menenangkan dan damai. Cipta tidak tahu pasti kapan dirinya mulai megantuk, dan perlahan matanya terpejam, menyisakan cahaya remang sebelum semuanya tertelan gelap dan lelap dalam tidurnya.

***

Megenta tersenyum culas melihat keadaan Cipta, ini bukan pertama kalinya Magenta melihat Cipta tersiksa dengan rasa cemasnya. Padahal sudah bertahun – tahun dan Cipta tidak pernah berubah, Cipta selalu memuntahkan makanannya kala ia merasa gugup berlebihan. Selain itu, Magenta yakin bahwa tadi malam Cipta sama sekali tidak tidur, karena sudah tabiat Cipta dari dulu bahwa Cipta tidak akan pernah tertidur jika esok adalah hari yang mendebarkan seperti saat ini.

Magenta merapikan rambut Cipta yang bersandar nyaman di pundaknya, jika saat tertidur, Cipta terlihat sangat menggemaskan di mata Magenta, terlihat sangat polos seperti anak kecil dan tenang. Magenta tertawa pelan mengingat bagaimana selama ini Cipta selalu menenangkannya selama ia merasa gugup dan khawatir, memberikan petuah – petuah dan nasehat – nasehat padanya. Lalu mengapa Cipta tidak menerapkan perkataannya pada dirinya sendiri?

Magenta merasa pegal di pundaknya, namun dilain sisi ia tak tega harus membangunkan Cipta yang tertidur nenyak. Sesekali denyutan rasa sakit dapat Magenta rasakan di sekitar bahu dan pergelangan tangannya, terkadang latihanan yang keras saat bermain biola membuat beberapa bagian tubuh Magenta terasa kebas dan mati rasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: