>

“Hanya ini kunyanyikan, Senandung dari hatiku untuk Mama. Hanya sebuah lagu sederhana, lagu cintaku untuk Mama.”

-Cinta untuk Mama, Vidi Aldiano

>>>***<<<

Keringat dingin menjalari tubuh Cipta, bahkan tangannya bergetar saat berada di depan tuts tuts pianonya. Setelah membungkuk memberi sapaan pada juri dan penonton, Cipta dan Magenta segera bersiap di posisi masing – masing. Kesekian kalinya, Cipta kembali melihat sisi lain Magenta yang tak dapat ia temukan selain di saat – saat seperti ini. Magenta dan biolanya selalu terlihat menawan, tampak tegas namun indah, tampak lembut dan keras disaat bersamaan. Dalam binar mata Magenta, Cipta dapat melihat bagaimana tatapan itu terasa membunuh, namun di waktu yang sama tatapan itu juga terasa rapuh. Seolah kecewa dan putus asa menjadi satu Irama dalam melodi sedih.

Gesekan biola pertama oleh Magenta menjadi pembuka, tatapannya tajam melihat semua yang ada didepannya, dan itulah ada kode untuk Cipta menekan tuts – tuts mayor secara berantakan dan acak. Nada – nada itu terdengan sumbang namun beruntun, semua yang menyaksikannya tekejut, tentu saja, ini bukan musik klasik yang biasa mereka dengarkan, atau sebuah improviasi dari melodi yang biasa mengalun. Nada ini di ciptakan oleh air mata, melodi ini dibangun dengan putus asa dan kecewa, irama ini ada karena hampa dan lagu ini diakui karena ia tak pernah ada. Semu, layaknya harapan tanpa asa, dan lagu ini depersembahkan oleh dewi yang penuh luka kepada ia yang selalu bahagia.

Awalnya Cipta merasa ragu, namun melihat tekad yang ada pada Magenta, rasa ragu itu terkikis, latihan mereka selama ini tak boleh sia – sia. Nada – nada minor yang dihasilkan oleh gesekan Magenta menjadi musik yang sangat cepat, tak kalah cepat dari setiap tekanan tuts oleh Cipta. setiap tangga nada yang Magenta dan Cipta mainkan berupa nada kesedihan dengan kilas balik peristiwa yang menyakitkan, semua orang tahu itu. Dan pada setiap tempo irama cepat yang mereka mainkan mengandung dendam untuk membalas segala rasa sakit itu. Jika mereka menyadari terselip beberapa nada mayor yang menjadi pengiring bahwa sesakit apapun mereka, mereka tak akan bisa membalasnya.

Kecewa yang mereka rasakan tidak mengubur rasa Cinta mereka terhadap orang yang telah melukai mereka. Kasih itu tumbuh walau mereka terus dibuang dan tak dipedulikan. Seandainya mereka tahu, nada itu adalah nada yang ceria, menggambarkan betapa bahagia hati mereka kala melihat ia yang melukai tak pernah terluka, walau sakit, mereka akan terbiasa, hanya tinggal menunggu masanya, hingga mereka bisa bahagia bersama. Detik di ujung irama, Magenta mengayunkan nada yang begitu menayat, hari itu Cipta menjadi satu – satunya saksi, bahwa Magenta menjatuhkan air matanya. Dan Hari itu juga Cipta melihat senyum lega terpahat dibibir Magenta, walau tak bersuara, dapat Cipta ketahui dengan jelas perkataan Magenta.

“Mama, Magenta rindu Mama,”

***

Cipta menuruni panggung dengan perasaan lega, Cipta tidak akan ambil pusing dengan hasil akhir kompetisi ini. Karena setelah penampilan dirinya dan Magenta, tidak ada yang bereaksi, tidak juri, tidak audiens sama saja, mereka hanya diam. Walau begitu Cipta dan Magenta merasa puas. Beragam pandangan dilayangkan pada Cipta dan Magenta yang Cipta dan Magenta balas dengan senyuman dan sebuah penghormatan terakhir lalu meninggalakan panggung begitu saja.

“Ah…benar – benar kalah,” keluh Cipta seolah mengetahui hasil kompetisinya. Cipta meninggalkan Magenta di ruang tunggu dan melangkah sembarang arah, bosan rasanya hanya duduk saja, jika saja Magenta bisa bicara mungkin Cipta akan sedikit betah, masalahnya Magenta saja tidak bisa bicara.

PLAK

PLAK

Mendengar suara itu Cipta mematung, Cipta tahu persis suara apa itu, jika dirinya tidak salah itu adalah suara tamparan, tamparan yang sangat keras. Cipta mencari tahu asal suara itu yang ternyata datang dari balik pintu ruang tunggu lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: