>

 

“Mengapa harus berbohong? Padahal kebohongan itu tak merubah apapun. Mengapa harus berbohong? Bahkan saat kau tahu, tak seharusnya kau lakukan itu.”

>>>>>*****<<<<<

Ginanja membantu Mbak Senja berkebun hingga Sore, walau sekedar mengangkati hasil getah, Ginanja cukup mengurangi beban Mbak Senja, sehingga tidak perlu memikul hasil getah karet yang beratnya berkilo – kilogram itu. Burung layang – layang tampak ramai melukis langit, semburat merah perlahan menghilang terganti oleh warna biru tua dan ungu yang berpadu sempurna. Gema adzan magrib juga mulai terdengar, suara anak – anak berlarian, berteriak bersahutan, sebagian dari mereka baru saja ingin pulang selepas bermain. Sedang sebagian lagi, tengah bermain pecut sarung selagi menuju mushola kampung yang mulai ramai.

Jalanan tanah kampung tampak ramai dengan penduduk kampung yang usai bekerja dari sawah dan kebun mereka. Penuh canda dan tawa lepas usai mengais rezeki mereka, pemandangan yang tersaji tampak benar sederhan namun begitu indah. Kehidupan di kampung memang tidak semaju kehidupan kota, namun kekeluargan yang terasa begitu kentara di kampung adalah sebuah hal yang tak dapat terganti. Tidak mengenal bahwa engkau membencinya, selagi ia masih tau apa itu sebuah kebaikan, maka engaku adalah keluargnya. Harmonisasi itu sulit didapat, apalagi di era sekarang. Mana ada orang yang peduli jika mereka tak untung.

“Ginanja,” Panggil Mbak Senja yang disahuti oleh Ginanja, “Apa mbak?” Tanya Ginanja.

Mbak Senja tersenyum manis, “Udah kepikiran mau kerja apa?” tanya Mbak Senja. Walau Mbak Senja membiarkan Ginanja selalu di rumah dan berleha – leha, bukan berarti Mbak Senja akan mebmbiarkan hal itu terjadi selamanya. Ginanja adalah laki – laki, suatu saat nanti Ginanja harus menikah dan menghidupi anak dan istrinya, sampai kapan Ginanja akan selalu seperti ini, luntang –lantung tanpa pekerjaan.

Ginanja menatap bingung pada Mbak Senja, sejauh ini, Ginanja tak pernah berpikiran untuk melakukan apa selepas tamat sekolah. Bahkan Ginanja sudah setahun sejak ia lulus dari sekolah menengahnya. Jika pun harus mencari pekerjaan, pekerjaan apa yang bisa Ginanja lakukan, berkebun saja ia tak pernah becus, “Atau Ginanja mau kuliah, kalo mau kakak usahin cari biayanya,” Ujar Mbak Senja mendapati keterdiaman Ginanja.

Mendengar perkataan Mbak Senja, Ginanja cukup terkejut. Biaya Kuliah tidaklah murah, jika ditanya seperti itu tentu saja Ginanja mau, masalahnya dapat uang dari mana Mbak Senja. Jikapun mengandalkan beasiswa, Ginanja tidak memiliki otak secerdas itu. “Mbak-” Ujar Ginanja terkejut.

Mbak Senja tak menatap Ginanja selama ia berkata – kata, “Kenapa? Kalo kamu mau kuliah memang apa salahnya? Biayanya bakak kakak cari, asal kamu bisa sekolah dan meraih cita – cita.” Jelas Mbak Senja. Ginanja bungkam, walau Mbak Senja tampak seolah tak peduli dengan keadaannya, Ginanja tahu bahwa Mbak Senja mengusahakan segalanya demi adik – adiknya. Jika saja Ginanja bisa, Ginanja ingin sekali berkata ya atas penawaran Mbak Senja. Namun, Ginanja cukup tahu diri, uang yang dikumpulkan Mbak Senja atas kerja kerasnya itu tak sekalipun pernah Mbak Senja pakai untuk dirinya sendiri, selalu hanya untuk keluarganya. Dan Ginanja tahu, bahwa dalam waktu dekat Mbak Senja ingin menikah dari uang yang sudah ia tabung tersebut, walau Mbak Senja tidak mengatakannya. Ginanja cukup peka untuk mengetahui hal itu.

“Ginanja nggak ada niat buat kuliah mbak,” Ujar Ginanja, “Nanti Ginanja cari kerja, doain aja Ginanja dapat kerja,” Pinta Ginanja pada Mbak Senja. Mendengar perkataan Ginanja, Mbak Senja menghentikan langkahnya dan menatap Ginanja lekat.

“Kalo kamu mikir bakal sia – sia itu nggak bener Ginanja, nggak akan ada yang sia – sia asal kamu serius.” Ujar Mbak Senja, Ginanja tertawa pelan. “Ginanja emang nggak mau kuliah mbak, nanti kalo emang ada rezeki, Ginanja pengen coba tapi nggak sekarang ada waktunya.” Ucap Ginanja.

Mbak Senja menatap Ginanja dengan sinar mata yang tak dapat diartikan oleh Ginanja. Tatapan yang penuh tanya, sebuah kekecewaan, harapan, kebahagian, kesedihan dan sebuat keputus asa-an bercampur menjadi satu. Mata Mbak Senja berkaca – kaca, terlihat linang air mata di sudut matanya, yang jika sekali saja Mbak Senja berkedip, Ginanja yakin air mata itu akan jatuh.

Ginanja menggengam tangan Mbak Senja, walau tak tahu isi hati dan apa yang ada di dalam benak Mbak Senja, Ginanja harap perkataan dan perlakuannya dapat menenangkan apapun yang Mbak Senja pikirkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: