>

Khutbah Jumat: Bentuk Kesombongan

   Khutbah Jumat: Bentuk Kesombongan

Oleh: M.Sodik Hamdi.S.Ag.,M.Pd*    

  

 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Pada ayat ini ditegaskan bahwa seseorang akan diminta pertanggungjawabannya atas pendengaran, penglihatan dan hatinya sebagaimana ia akan dihisab atas seluruh anggota badannya. Karena hati adalah pemimpin anggota badan, maka perbuatan-perbuatan anggota badan mencerminkan apa yang ada di hati. Jika hati baik maka anggota badan menjadi baik dan jika hati rusak maka rusak pula anggota badan.

Di antara penyakit hati yang dilarang dalam ayat-ayat tersebut adalah bersikap takabur (sombong) terhadap para hamba Allah.

 

Berdasarkan hadits ini, orang yang takabur (sombong) ada dua macam:   Pertama, seseorang yang menolak kebenaran yang disampaikan orang lain, padahal ia tahu bahwa kebenaran ada pada orang tersebut. Ia menolaknya karena orang yang menyampaikan kebenaran itu lebih muda darinya atau lebih rendah kedudukannya, sehingga ia merasa berat untuk mengikuti kebenaran itu.

Hadirin sekalian, Fir’aun tidaklah binasa kecuali karena sifat takaburnya. Fir’aun telah melihat sekian banyak mu’jizat Nabi Musa ‘alaihissalam, namun ia tidak beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.

Demikian pula Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir Quraisy. Setelah mereka melihat mu’jizat Al-Qur’an dan mengakui bahwa Al-Qur’an adalah benar,, tidak ada yang membinasakan mereka dan membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabur dan kesombongan mereka.

Sedangkan jenis kedua dari orang takabur adalah seseorang yang menganggap dirinya memiliki keistimewaan yang melebihi orang lain. Ia melihat dirinya dengan pandangan kesempurnaan dan penuh kebaikan. Ia lupa bahwa itu semua sejatinya adalah pemberian Allah kepadanya. Dengan itu, ia lalu bersikap congkak kepada sesama hamba Allah dan merendahkan mereka, karena –menurutnya- ia jauh lebih hebat, lebih tinggi,  lebih baik, lebih sholeh, lebih mulia lebih pintar, lebih kaya dan lebih segalanya, daripada orang lain

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: