Puisi dan Malam yang Tak Mau Usai, Catatan dari Anjungan Jambi
Puisi dan Malam yang Tak Mau Usai, Catatan dari Anjungan Jambi-Foto: Istimewa-
JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Peringatan Hari Puisi Nasional berlangsung tidak seperti panggung-panggung biasa. Tidak ada gimik, tidak ada selebrasi palsu. Yang hadir hanyalah penyair, musisi, perupa, aktor, dan warga yang ingin kembali percaya bahwa kata masih bisa menyelamatkan kita.
Acara dibuka oleh Ramayani, perempuan penyair Jambi yang tampil lembut namun menggetarkan. Sebelum membaca puisinya, ia mengajak hadirin menyimak orasi kecil tentang menjadi perempuan di dunia puisi, tentang menulis dari tubuh, tentang sunyi yang kadang lebih lantang dari tepuk tangan.
BACA JUGA:Polda Jambi Gerebek Gudang Pengoplosan Gas Subsidi di Batanghari, Satu Orang Diamankan
Ia membaca tiga puisi dua karyanya sendiri dan satu puisi karya mendiang Ari Setya Ardi dengan gaya yang tenang, melankolis, dan nyaris mistis. Ia duduk di kursi rotan, dikelilingi instalasi artistik berupa lesung batu dan nampan buku sebuah simbol bahwa kata adalah sesuatu yang digiling, diolah, lalu dihidangkan sebagai santapan batin.
Setelah itu, Ide Sugus, seorang ibu pecinta puisi, membacakan sajak Acep Syahril. Ia menyebut namanya dengan pelan, seolah takut mengganggu kehadiran almarhum penyair yang dilukiskan malam itu lewat potret besar yang diam namun bertenaga Chairil Anwar, Dimas Arika Miharja, Dimas Agus Pelaz, Ari Setya Ardi. Empat wajah itu berdiri sebagai latar panggung menjadi saksi, menjadi ruh.
BACA JUGA:Breaking News..Mobil Dirut PDAM Sungaipenuh Masuk Jurang Terbawa Longsoran Sampah
Suasana makin dalam saat Ismet Raja naik ke panggung. Musisi yang juga aktivis lingkungan ini tampil tanpa banyak kata. Ia bernyanyi tentang sungai yang keruh, tentang Tanah Pilih yang dirampas, tentang anak-anak dalam yang hidupnya terjepit. Ia tidak sedang tampil; ia sedang mengadukan isi hatinya. Dan hadirin mendengarkan, bukan sebagai penonton, tapi sebagai sesama yang sama-sama gelisah.
Malam itu, puisi menjadi doa. Musik menjadi ratapan. Bahkan tawa pun terasa khusyuk.
Nama-nama lain menyusul: Didin Siroz yang tenang dan dalam, Bayu, aktor cilik dengan cerita tentang burung Kuwau yang tak lagi pulang, dan Kukuh Sila Utama, yang menutup pembacaan puisi dengan karya dalam bahasa Inggris. Kukuh lama tak tampil. Tapi seperti puisi, ia tak pernah benar-benar pergi.
Penonton pun datang dari berbagai penjuru guru, dosen, aktivis, perupa, pelajar. Ageng, dosen hukum, menyebut acara ini sebagai pengingat bahwa kesenian tak harus gemerlap untuk berarti.
Sementara Didi Hariadi, pimpinan Rumah Budaya Melayu Jambi yang juga sponsor acara, menyatakan harapannya agar Anjungan menjadi agenda tahunan bagi sastra yang membumi.
Sri Handayani, sebagai tuan rumah Anjungan, tampak puas. Meski tidak semua undangan hadir, namun mereka yang datang benar-benar hadir dengan hati. Bahkan Qelink Sumarno, perupa, tetap duduk lama setelah acara berakhir. “Tempat ini harus hidup. Bukan untuk selebrasi. Tapi untuk kesenian yang jujur,” ucapnya.
Dan ketika acara benar-benar selesai, langit tetap bersih. Tak ada hujan. Mungkin karena malam itu, Tuhan ikut mendengarkan puisi. “Kata tak bisa padam,” ujar Ide Bagus Putra menutup malam. “Selama hidup masih bergerak, puisi akan tetap bernapas," ujarnya. (*/kar)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


