Menggugat Legitimasi Hak Veto Dewan Keamanan PBB
Mochammad Farisi, LL.M --
Veto: Instrumen Stabilitas atau Alat Politik?
Secara ideal, hak veto dimaksudkan untuk mencegah keputusan PBB dimanfaatkan untuk melawan kepentingan vital salah satu negara besar, sehingga memicu konflik berskala lebih luas. Tetapi dalam praktik, veto seringkali dipakai sebagai instrumen politik demi melindungi sekutu atau kepentingan domestik.
Kasus Palestina adalah contoh nyata: dukungan global yang begitu besar tidak berarti apa-apa karena satu negara memutuskan sebaliknya. Akibatnya, PBB terlihat tidak berdaya, dan legitimasi moralnya dipertanyakan.
Reformasi Hak Veto Perspektif Normatif John Locke
Dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80, sejumlah negara, termasuk Finlandia, Malaysia dan Singapura, dengan tegas memprotes keberadaan hak veto yang berulang kali menjadi penghalang serius tercapainya perdamaian dunia. Mereka mendorong reformasi PBB agar lebih adil, efektif, dan relevan dengan tantangan global saat ini. Jika Dewan Keamanan terus dibiarkan diblokir oleh penggunaan hak veto, PBB berisiko kehilangan legitimasi moral dan politiknya. PBB harus bertransformasi menjadi lembaga yang lebih representatif dan inklusif dengan memberi ruang setara (equal) bagi semua negara anggota. Dunia internasional tidak boleh membiarkan suara kolektif mayoritas diabaikan hanya karena kepentingan sepihak satu negara besar.
Dalam perspektif teori politik, John Locke dalam Two Treatises of Government menegaskan bahwa manusia lahir bebas dan setara, sehingga tidak seorang pun memiliki kekuasaan absolut atas orang lain. Prinsip ini dapat diperluas dalam tataran internasional: bangsa-bangsa di dunia juga lahir setara dan berdaulat. Locke menekankan bahwa kekuasaan politik hanya sah bila bersandar pada persetujuan mayoritas, itulah dasar demokrasi konstitusional.
Jika gagasan Locke diterapkan pada hubungan antarbangsa, maka negara-negara di dunia juga setara secara hakiki. Tidak ada satu bangsa pun yang secara moral berhak mendominasi atau menolak aspirasi kolektif bangsa-bangsa lain. Namun, hak veto Dewan Keamanan PBB justru menciptakan bentuk “kekuasaan absolut” yang menurut Locke tidak sah secara moral, karena mengabaikan prinsip persetujuan mayoritas.
Dengan demikian, meskipun secara hukum internasional amandemen Piagam PBB sulit dilakukan karena syarat persetujuan P5, secara normatif hak veto sudah kehilangan legitimasi. Veto adalah warisan geopolitik pasca-Perang Dunia II yang lebih mencerminkan distribusi kekuasaan tahun 1945, bukan realitas demokrasi global hari ini.
Maka, reformasi hak veto harus dipandang sebagai tuntutan moral, filosofis, dan demokratis, bukan sekadar isu teknis. Pembatasan, transparansi, atau bahkan penghapusan veto adalah langkah yang sesuai dengan legitimasi demokrasi modern, di mana suara kolektif mayoritas negara (representasi rakyat dunia) tidak boleh dibungkam oleh satu negara besar.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



