Tidak ada surat pemberitahuan. Tidak ada sosialisasi. Tidak ada dialog. Status itu tiba-tiba muncul ketika beberapa warga mengurus pemecahan sertifikat di BPN Kota Jambi.
Ditolak. Satu alasan sederhana, tapi menghentak. “Wilayah Anda masuk zona merah Pertamina.”
Sejak saat itu, roda kehidupan yang biasanya lancar tiba-tiba macet di titik paling krusial, warga tak bisa menjual tanah. Tidak bisa mengagunkan sertifikat untuk modal usaha. Tidak bisa memecah sertifikat untuk warisan. Tidak bisa melakukan proses legal apa pun.
Sertifikat yang selama puluhan tahun menjadi bukti sah kepemilikan kini seperti kertas tanpa nilai.
BACA JUGA:Bagaimana Kelanjutan Dugaan Korupsi BUMD Siginjai Sakti, Ini Penjelasan Kejari Jambi
Suprayitno yang bagian dari sejarah hidup lahan kawasan Kenali Asam tersebut kemudian mengungkap sesuatu yang mengejutkan.
“Pertamina, katanya, melaporkan ke Kementerian Keuangan pakai data lama. Data tahun 1922," katanya.
Data itu digunakan sebagai dasar aset.
Data itu tidak memiliki batas lahan yang jelas. Data itu berasal dari masa sebelum Indonesia merdeka.
Dan data itu pula yang kini membuat kawasan yang telah menjadi pemukiman selama berpuluh-puluh tahun dicap sebagai “kawasan Pertamina”.
“Itu yang membuat kami bingung. Apakah negara mau melihat kami sebagai warga yang tinggal di tanah sendiri, atau penghuni ilegal," ujar Suprayitno.
Ketidakpastian adalah musuh yang paling membuat warga gelisah. Empat bulan tanpa kejelasan membuat ribuan orang di Kenali Asam memutuskan untuk bergerak.
Mereka membentuk Forum Masyarakat Menolak Zona Merah. Kini membuat legalitas forum tersebut melalui Notaris yang masih berproses. Ribuan massa akan menggelar aksi demonstrasi. Kata Suprayitno mereka juga berencana akan menemui Walikota Jambi, menemui Anggota DPR RI Syarif Fasha terkait persoalan mereka.
BACA JUGA:Puluhan Warga Kepung Kantor Pertamina EP Jambi, Tuntut Hapus Status Zona Merah
"Betul, ini akan menjadi bom waktu," ungkapnya.