Pertama, Inggris.
Dalam berbagai aksi besar seperti Climate Strike dan protes Anti-Brexit, pemerintah tidak serta-merta membubarkan massa meskipun mereka memblokir jalan utama London. Polisi Inggris menerapkan prinsip facilitate, not frustrate: tugas utama aparat adalah memfasilitasi agar hak berkumpul damai berjalan lancar. Mereka berperan sebagai mediator, pengatur lalu lintas, dan pelindung. Pembatasan hanya diberlakukan jika ada ancaman nyata terhadap keamanan publik, misalnya menghalangi akses rumah sakit.
Kedua, Korea Selatan.
Candlelight Protest (2016–2017) menjadi contoh klasik. Selama berbulan-bulan, jutaan warga menuntut pengunduran diri Presiden Park Geun-hye. Jalan-jalan utama di Seoul ditutup khusus untuk aksi, aparat mengatur arus lalu lintas, menyediakan fasilitas publik, dan menjaga keamanan. Hasilnya, aksi terbesar dalam sejarah Korea Selatan justru dikenang sebagai demonstrasi damai tanpa kerusuhan berarti.
Ketiga, Amerika Serikat.
Protes Black Lives Matter (BLM) 2020 memberi pelajaran kontras. Di kota-kota yang aparatnya represif, bentrokan justru meningkat. Namun di tempat lain seperti Washington DC dan Minneapolis, di mana pemerintah lokal bekerja sama dengan penyelenggara demo menyediakan zona aman, toilet portable, bahkan ambulans protes berlangsung lebih tertib. Perbedaan ini menunjukkan: fasilitasi lebih efektif daripada represi.
Relevansi untuk Indonesia
Contoh di atas memperlihatkan bahwa standar HAM internasional sebagaimana ditegaskan ICCPR dan General Comment No. 37 bukan sekadar wacana. Negara-negara lain sudah mempraktikkannya dengan hasil positif. Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman tersebut:
Jangan menanggap demonstrasi musuh negara, ia adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Aparat harus menjadi fasilitator, bukan hanya menjaga ketertiban, tetapi memastikan hak demonstran terlindungi. Dan yang paling penting pemerintah harus membuka kanal dialog, benar-benar mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat.