Ini sesungguhnya merupakan penyimpangan dari praktik mazhab pertumbuhan, di mana stabilitas politik yang diupayakan melalui pengekangan demokrasi, pada akhirnya menciptakan distribusi kesejahteraan tidak merata. Pesan moral yang ingin penulis sampaikan adalah, kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh memikirkan nasib rakyat dan tidak menyerahkan masa depan bangsa dan negara dalam cengkraman oligarki, yang menurut penulis prasyarat muthlak yang diharapkan Memimpin Indonesia Kedepan, karna KENAPA? “ Karna kita harus menghentikan keserakahan para oligarki yang selalu berlindung diketiak penguasa, Negara ini milik rakyat, milik kita semua bukan milik pengusaha dan oligarki, kita tidak anti investasi, kita setuju mereka membangun pabrik membuka lapangan kerja. Yang kita tidak setuju adalah mereka terlalu serakah dan memiskinkan rakyat” oya,, satu lagi moral yang penulis sampaikan, “ Selama civil society terus dilemahkan; masyarakat dibelah, organisasi rakyat dibeli, mahasiswa & akademisi dibungkam, dan spirit demokrasi dikerdilkan dengan cara memanipulasi kesadaran & membunuh keberanian rakyat, maka tidak akan pernah kita mengalahkan oligarki”. Kalau udah gini, gak asik lagi bernegara di tengah-tengah keserakahan oligarki..
Dampak dan paradok penguasa banyak uang dengan disparitas yang terjal dengan kaum papa yang tidak dapat apa-apa, karena kebijakan yang kurang serius mensejahterakan rakyat. Wajar jika rakyat makin banyak mengemis dan mau menerima uang tak peduli lagi dengan cara-cara yang menginjak harkat martabat manusia, seperti penguasa lempar-lempar sembako dan uang, ada juga sambil nyanyi jingkrak-jingkrak kegirangan bagi uang tanpa amplop. Jeritan kemiskinan rakyat diakomodir oleh legenda penyanyi kondang Indonesia yang merakyat yaitu Iwan Fals dengan judul lagu Penguasa. Pada syair reff dilantunkan : penuasa… penguasa beri hamba uang, beri hamba uang. Money politikpun jadi pembenaran penguasa dalam pilpres dan pemilukada. (*)
Penulis Adalah Dosen Ilmu Pemerintahan dan Politik Universitas Jambi