Mengintip Bulu dan Keris Dalam Bungkusan Kain Panjang di Tradisi Junjung Pusako Sarolangun

Rabu 04-10-2023,16:06 WIB
Editor : Dona Piscesika

SAROLANGUN, JAMBIEKSPRES.CO.ID – Di Sarolangun, ada sebuah tradisi menarik bernama tradisi Junjung Pusako.

Tradisi Junjung Pusako telah lama dipegang teguh oleh masyarakat Desa Tanjung Gagak Kecamatan Bathin VIII Kabupaten Sarolangun dan terus melekat hingga kini.

Tradisi ini dilaksanakan satu kali dalam satu tahun setiap 12 rabiul awal dalam kalender Islam.

Ada sebuah prosesi unik yang dilakukan saat Junjung Pusako.

Dimana dalam momen ini masyarakat bisa melihat isi dari bungkusan kain panjang yang membungkus tulisan kuno karya tangan manusia sepanjang 20 sentimeter.

Dalam bungkusan ini juga terdapat lembaran bulu dan keris. Kemudian kain panjang ini dibuka untuk diasapkan dan ditaburkan kembang tujuh warna.

Setelah prosesi tersebut usai, kain panjang tadi kemudian dibawa ke tanah lapang untuk disambut oleh masyarakat Desa Tanjung Gagak.

Selanjutnya mulailah dikerjakan ritual membersihkan tujuh alat pusaka yaitu keris, tanduk, tabuh air minum dan tempat surat, kain batik irik-irik, batu, igak padi, jago padi, dan tempat rambut Putri Susu Tunggal.

Ritus Junjung Pusako merupakan cara turun temurun untuk memulai musim bertanam padi ladang, yang memantulkan kearifan lokal di bidang pertanian, yang dijiwai oleh nilai kebersamaan, kekompakan, dan gotong royong.

Ritus ini juga sebagai bentuk kekayaan budaya, yang dapat terus menjadi sumber penciptaan karya dan pengetahuan baru.

Pelaksana tugas (Plt.) Bupati Sarolangun, Bachril Bakrie mengatakan menjaga tradisi Junjung Pusako adalah menjaga alam, menjaga sungai, dan menjaga kebudayaan.

Bachril mengatakan, seluruh kegiatan yang muncul dalam festival ini bertujuan untuk mengenalkan dan melestarikan adat istiadat serta sejarah peradaban di sepanjang sungai Batang Hari.

Menurutnya, dengan aktivitas yang menggugah semangat kebudayaan, Festival Junjung Pusako menghadirkan peristiwa ketika setiap individu terhubung lagi dengan sejarah dan warisan tradisi.

Adapun bentuk kegiatan dalam Festival Junjung Pusako yaitu senam massal di pagi hari, dilanjutkan dengan parade budaya, penanaman bibit pohon, pentas seni tarian lokal, serta penampilan musikalitas daerah pada malam hari.

Dalam parade budaya ini, masyarakat dari sebelas kecamatan lainnya juga turut serta dengan memamerkan ciri kearifan lokalnya masing-masing.

Begitu pula sejumlah murid jenjang SD, SMP, SMA tampak ikut memeriahkan Festival Junjung Pusako dengan berpartisipasi pada senam massal.

Untuk melestarikan tradisi dan menghidupkan ekosistem budaya di Kabupaten Sarolangun, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Pemerintah Kabupaten Sarolangun menggelar Festival Junjung Pusako, di Desa Tanjung Gagak, Kecamatan Bathin VIII, pada Rabu (27/9).

Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti, mengatakan, Kemendikbudristek mendukung festival ini agar masyarakat Jambi dapat merasakan manfaat dari terjaganya hubungan antara kebudayaan dengan pelestarian lingkungan.

”Ekosistem kebudayaan adalah sebagai sebuah mata rantai. Festival Junjung Pusako adalah salah satu contoh untuk tetap menghidupkan ekosistem kebudayaan di Kabupaten Sarolangun,” ujar Irini.

Turut hadir dalam festival ini, Gubernur Jambi, Al Haris. Ia menuturkan, rangkaian Kenduri Swarnabhumi ini menjadi momentum tafsiran ulang sejarah Jambi sebagai sebuah daerah yang memiliki peradaban panjang dan akar budaya kuat.
 
Hal tersebut, kata Al Haris, dapat ditelaah mulai dari kehadiran Candi Muaro Jambi karya peradaban Budha di Laut Cina Selatan yang berlanjut munculnya Kerajaan Melayu Jambi hingga akhir masuknya Islam.

“Sungai Batanghari saksi bisu perjalanan peradaban Jambi. Kita ingin mengulang sejarah itu, dengan menghidupkan kembali akar budaya yang lahir di sepanjang sungai tersebut, masa ketika perdagangan dan agama jadi salah satu pusat kegiatan di Jambi,” papar Al Haris.

Sebagai penutup festival, tampil pertunjukan Merencam, yang menggambarkan tradisi bertanam padi masyarakat Desa Tanjung Gagak.

Proses dimulai dari prosesi merencam dan bertanam, dilanjutkan dengan gambaran kegiatan ketika padi telah masak, di mana padi digiling dengan teknologi tradisional yang dinamakan kisa.

Dari kisa, padi yang telah menjadi bulir ditumbuk oleh para Ibu dengan lesung dan antan. Maka seterusnya beras ditampian dengan menggunakan niru, hinggga akhirnya diperoleh beras bersih yang siap ditanak menjadi nasi.

Dalam kesempatan ini, Al Haris bersama Irini dan Bachril Bakrie mempraktikan merencam benih padi dengan melubangi tanahnya agar dapat ditanami. Turut hadir dalam festival ini pejabat dari dinas setempat, pegiat dan komunitas budaya lokal, serta seribu pelajar dan masyarakat yang antusias menyaksikan festival. (***)

Kategori :