Oleh : Suhendra, S.T., M.Sc.
Kita perlu membahas tentang kerentanan kelompok tani dan komunitas lokal hutan hujan terhadap dampak perubahan iklim dan bagaimana mereka dapat beradaptasi untuk menghadapi krisis yang berakibat bencana.
Salah satu dampak perubahan iklim yang paling mengkhawatirkan adalah meningkatnya suhu permukaan bumi. Baru-baru ini Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres mencetuskan istilah baru yaitu global boiling (pendidihan global) menggantikan global warming (pemanasan global) yang selama ini kita kenal karena pada bulan juli 2023 menunjukkan peningkatan suhu iklim global tertinggi yang pernah tercatat dalam 120.000 tahun terakhir. Selain itu, menurut Carlo Buentempo, direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus, tiga minggu pertama bulan Juli adalah tiga minggu terpanas yang pernah diamati dan akan menjadi bulan juli terpanas yang pernah tercatat. Bukan hanya suhu udara saja yang perlu dikhawatirkan, tapi juga suhu lautan. Faktanya, suhu laut pada bulan Juli berada pada tingkat tertinggi yang pernah tercatat sepanjang tahun ini. Salah satu penyebab lautan memanas adalah El Niño. Berdasarkan NASA Science, saat El Niño, suhu air di Samudera Pasifik meningkat rata-rata 3-5 derajat celcius.
Suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah bagi kehidupan manusia dan alam, terutama di daerah tropis yang memiliki hutan hujan. Hutan hujan adalah sumber daya penting bagi banyak masyarakat, baik secara ekonomi maupun ekologis. Namun, hutan hujan juga sangat rentan terhadap kerusakan akibat pendidihan global.
Dunia yang lebih panas akan sangat merugikan bagi para petani dan komunitas lokal yang tinggal di daerah hutan hujan. Mereka akan menghadapi ancaman seperti kekeringan, banjir, penyakit, dan kehilangan tanaman. Selain itu, mereka juga akan kehilangan mata pencaharian dan pendapatan mereka jika hutan hujan rusak atau hilang. Hutan hujan menyediakan berbagai jasa lingkungan, seperti menyerap karbon, menjaga keseimbangan air, dan melindungi keanekaragaman hayati. Tanpa hutan hujan, dampak perubahan iklim akan semakin parah dan sulit diatasi. Oleh karena itu, pembicaraan tentang bagaimana cara kita dapat mencegah dan mengatasi dampak terburuk perubahan iklim sangatlah penting. Di banyak diskusi terkait perubahan iklim, sebagian besar pertanyaan yang muncul adalah tentang bagaimana kita dapat mencapai nol emisi/net zero emission gas rumah kaca dan bagaimana mitigasinya merupakan masalah iklim terbesar yang perlu kita selesaikan. Kesadaran masyarakat akan topik ini telah meningkat dalam dasawarsa terakhir yang dibuktikan dengan hal ini mendapat begitu banyak perhatian. Namun ada satu topik utama yang jarang ditanyakan dan dibahas oleh banyak orang: “bagaimana kita dapat membantu kelompok yang rentan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim ?”.
Ada banyak bencana alam yang terjadi dikarenakan dampak langsung maupun tidak langsung dari perubahan iklim. Seperti pembekuan yang terjadi di Texas tahun 2021 silam. Cuaca musim dingin yang ekstrem, akibat dari badai musim dingin Uri membawa salju dan hujan es yang sangat dingin hingga mematikan supply energi listrik di wilayah Texas. Hampir semua warga di negara bagian tersebut terjebak dengan tidak ada listrik untuk menghangatkan rumah dan keperluan konsumsi lainnya. Contoh lainnya adalah kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah di Sumatera dikarenakan musim kemarau yang lebih panas dan lebih kering bahkan beberapa minggu tidak diguyur hujan menyebabkan kekeringan yang dapat meningkatkan risiko KARHUTLA. Di Jambi misalnya, saat ini mulai diselimuti kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan. Meski tidak pekat, namun kabut asap itu sudah tampak terlihat dan dirasakan oleh masyarakat umum.
Hal yang menakutkan adalah bahwa peristiwa-peristiwa ini bukanlah satu-satunya yang menyebabkan pemanasan dunia yang dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih sulit. Kerusakan/dampak besar terjadi secara bertahap dan tidak langsung sehingga kadang luput dari pemberitaan. Dan parahnya lagi sebagian besar krisis akibat perubahan iklim terjadi di wilayah dekat Khatulistiwa dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lemah. Masyarakat ini akan lebih berisiko dibandingkan negara ataupun masyarakat mana pun di dunia. Sekitar dua pertiga dari masyarakat ini hidup dalam kemiskinan dan bekerja di bidang pertanian dan seringkali mengandalkan makanan yang mereka tanam untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Suhu dunia yang lebih panas akan menjadi masalah bagi para petani yang relatif kaya di Amerika dan Eropa, namun berpotensi akan sangat mematikan bagi para petani berpenghasilan rendah di Afrika dan Asia.
Semakin dekat para petani tinggal dengan garis khatulistiwa, dampak perubahan iklim akan semakin buruk. Kekeringan dan banjir akan semakin sering terjadi, sehingga semakin sering pula menggagalkan hasil panen. Hewan ternak akan makan lebih sedikit dan menghasilkan lebih sedikit daging dan susu. Udara dan tanah mulai kehilangan kelembaban, sehingga ketersediaan air untuk tanaman berkurang; di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara, puluhan juta hektar lahan pertanian akan menjadi jauh lebih kering. Jika para petani dan komunitas lokal hutan hujan sudah berada di ambang krisis, kondisi ini bisa menjadi bencana yang tak terhindarkan. Para petani dan komunitas lokal ini sebelumnya diproyeksikan akan kehilangan tanaman-tanaman mereka setiap sepuluh tahun, namun akibat perubahan iklim justru mempercepat krisis ini hingga terjadi setiap empat tahun sekali. Jika mereka tidak memiliki tabungan untuk membeli makanan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari, anak-anak mereka kemungkinan besar akan mengalami kekurangan gizi dan lebih rentan terhadap penyakit.
Dampak terburuk dari perubahan iklim di negara-negara miskin dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka yang merupakan alasan lain mengapa kita perlu membantu kelompok termiskin ini untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Hal ini dimulai dengan meningkatkan peluang anak-anak yang kekurangan gizi untuk bertahan hidup dengan meningkatkan sistem layanan kesehatan primer, meningkatkan pencegahan penyakit dan terus memberikan akses untuk vaksin. Kita juga perlu memastikan bahwa lebih sedikit anak yang mengalami kekurangan gizi dengan membantu petani miskin menanam lebih banyak pangan. Para kelompok tani dan komunitas lokal yang rentan memerlukan metode dan alat yang lebih baik untuk bisa menanam pangan, sama halnya seperti kita perlu menemukan cara untuk bergerak/berkendara dan menghasilkan listrik tanpa emisi karbon. Masalah-masalah ini bisa diselesaikan dengan inovasi di berbagai sektor. Salah satu contoh kabar baiknya adalah CGIAR (Consultative Group on International Agricultural Research) yang merupakan lembaga yang menghimpun belasan organisasi penelitian dunia yang bergerak di bidang pertanian dan pembangunan berkelanjutan untuk kepentingan kerja sama, konsultasi dan koordinasi yang memiliki potensi untuk menciptakan inovasi yang akan membantu petani miskin beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan menjadikan tanaman dan hewan lebih tangguh dan produktif. CGIAR mengembangkan varietas tanaman jagung yang tahan kekeringan dan banjir dan hasil penelitian menunjukkan kemajuan besar di negara-negara seperti Zimbabwe yang mana para petani di daerah yang dilanda kekeringan menggunakan jagung yang tahan di kondisi kering dan mampu memanen hasil jagung hingga 226 kilogram lebih banyak per hektar dibandingkan petani yang menggunakan varietas konvensional serta produksi yang cukup untuk memberi makan satu keluarga beranggotakan enam orang selama sembilan bulan.
Di Indonesia, juga terdapat Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian oleh Kementerian Pertanian yang menganalisis lingkungan strategis, mengidentifikasi potensi, peluang, tantangan dan permasalahan termasuk isu strategis terkini yang dihadapi dalam pembangunan hortikultura dan perkembangan Iptek yang berorientasi pada penelitian tanaman untuk mendukung pencapaian produktivitas secara optimal. CGIAR dan organisasi lainnya seperti BMKG juga menciptakan alat untuk membantu para petani beradaptasi terhadap cuaca yang tidak dapat diprediksi, seperti sensor yang memberikan pemberitahuan kapan harus menanam benih dan aplikasi di smartphone yang dapat membantu mengidentifikasi hama. Petani miskin dan komunitas lokal membutuhkan lebih banyak kemajuan teknologi seperti ini yang disediakan oleh para pihak berwenang serta perlunya untuk berinvestasi lebih di bidang penelitian dan pengembangan pertanian.
Jika kita tidak mengambil langkah sekarang untuk membantu petani beradaptasi, kita akan menghadapi bencana kemanusiaan dan geopolitik. Departemen Pertahanan Amerika Serikat memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menjadi penyebab utama ketidakstabilan global. Ketika masyarakat tidak dapat menanam tanaman pangan yang cukup untuk memberi makan untuk keluarga mereka sendiri, mereka akan meninggalkan daerah tersebut ke tempat yang dapat menghidupi keluarga mereka dengan lebih baik. Kita akan melihat lebih banyak “pengungsi iklim” pindah ke wilayah yang lebih dingin seiring dengan semakin panasnya suhu dunia. Departemen Pertahanan Amerika memprediksikan mengenai dampak iklim yang lebih hangat dapat menyebabkan konflik dalam lingkup global.
Melihat hal ini, sangat tidak adil jika orang-orang yang berkontribusi paling sedikit terhadap perubahan iklim (para petani dan komunitas lokal hutan hujan dengan kondisi sosial ekonomi lemah) menderita lebih besar akibat dampak dari krisis pendidihan global. Kemiskinan ekstrem telah menurun drastis dalam seperempat abad terakhir, dari 36 persen populasi dunia pada tahun 1990 menjadi 10 persen pada tahun 2015 (walaupun COVID-19 merupakan kemunduran besar yang menghambat banyak kemajuan). Perubahan iklim dapat menghapus lebih banyak kemajuan yang telah dicapai, sehingga meningkatkan jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem hingga sebesar 13 persen. Negara-negara kaya dan berpendapatan menengah merupakan penyebab utama sebagian besar perubahan iklim dan harus menjadi pihak yang mengambil tindakan dan berinvestasi lebih banyak dalam hal adaptasi bagi masyarakat yang terdampak. Masyarakat termiskin yang didominasi oleh petani dan komunitas lokal di dunia layak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk berusaha menjaga hutan hujan dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Kita harus mendukung upaya konservasi dan restorasi hutan, serta mendorong pengembangan pertanian berkelanjutan yang tidak merusak lingkungan. Kita juga harus meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam melawan perubahan iklim dan melindungi hutan hujan. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan masa depan yang lebih baik bagi kita dan generasi mendatang. (*)