Cerita Suku Talang Mamak Hadapi Perubahan Iklim

Selasa 29-08-2023,19:12 WIB
Editor : Setya Novanto

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID– Dampak krisis iklim kini melanda kehidupan komunitas adat di Talang Mamak yang bermukim di ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Cuaca yang tidak menentu menjadi ancaman bagi produktivitas dan kesejahteraan masyarakat yang masih bergantung pada hasil hutan dan ladang.

"Iklim di wilayah adat Talang Mamak sudah mulai berubah tapi tidak seperti di kota," kata Kindo, toko adat dari Komunitas Talang Mamak, dalam talkshow yang diselenggarakan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, Minggu (27/8/2023). 

Kindo menyampaikan hutan bagi Talang Mamak merupakan sumber kehidupan mereka. Dari nenek moyang sampai sekarang, sumber pencarian utama berasal dari hasil hutan. Mereka masih menanam padi ladang secara tradisional. Selain itu, mereka menanam sayuran untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti pisang, terong, cabai, sayur-sayuran. Ada pula jernang yang ditanam sendiri atau dipanen langsung di hutan. 

Helen dari KKI WARSI mengatakan dampak perubahan iklim sangat berpengaruh pada kehidupan komunitas adat Talang Mamak. Sebab, hutan adalah sumber penghidupan bagi mereka yang memiliki tradisi besiap (berpindah) untuk mencari tanaman-tanaman hutan untuk sumber penghidupan. Mereka punya kearifan lokal tersendiri bagaimana menjaga hutan dan mengmbalikan hutan yang telah dibuka untuk berladang kembali seperti semula. “Talang Mamak menyekat atau membagi hutan sesuai dengan kearifan lokal Talang Mamak,” katanya. 

Ada Rimba Pusaka. Dalam tradisi mereka, wilayah hutan ini tidak bisa dibuka karena dipercaya sebagai ruang bagi nenek moyang. Ada Rimba Jehat yang dipercaya menjadi tempat roh jahat. Ada Huma Besambung yang biasa digunakan untuk berladang dan lainnya. 

"Ketika mereka siap menanam padi mereka akan menanam jengkol, durian dan tanaman-tanaman agroforest lainnya yang sangat ramah lingkungan dan kegiatan itu mereka sebut belukar atau kebun," terangnya.

Talang Mamak juga sangat bergantung pada hasil hutan seperti aren, buah kepayang, karet, madu hutan dan jernang. 

Namun, perubahan iklim berdampak pada mata pencaharian Talang Mamak dan juga berdampak pada pendidikan, kesehatan, memingkatnya konflik internal dan eksternal, terjadinya mobilisasi penduduk. 

Jika iklim berubah pasti produktivitas sialang menurun karena madu berasal dari sari bunga di hutan. Panen buah tahunan seperti durian, jernang, tidak bisa lagi memastikan kapan berbuah karena waktu panen yang bergeser. Berbeda dulu mereka dapat memprediksi kapan panen buah tahunan. Lalu hilangnya panen raya yang biasa dirasakan Talang Mamak karena produktivitas buah berkurang. Hasil getah karet dan padi yang menurun karena cuaca dan penyakit padi.

"Jika hasil panen menurun berdampak juga pada perekonomian dan pendidikan mereka, kalau uang tidak ada, sumberdaya dan apa yang mau dimakan juga berkurang hingga berdampak pada kesehatan mereka juga," tegas Helen.

Banyak dukungan dari berbagai pihak untuk masyarakat adat Talang Mamak di antaranya KKI WARSI dan PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) agar bisa beradaptasi. Di antaranya sosialisasi, membantu komunitas dalam mengakses percepatan pelayanan kesehatan dan pendidikan baik kepemerintah, non pemerintah, dan kolaborasi.

"Kita juga melakukan pendampingan untuk peningkatan mata pencaharian melalui pelatihan dan studi banding, pemberian bibit agroforest ataupun tanaman muda guna pemenuhan diversifikasi pangan komunitas," sebutnya.

Nety Riana dari PT ABT menyampaikan pihaknya berusaha untuk menjadi solusi untuk masyarakat terutama masyarakat adat Talang Mamak yang kehidupannya bergantung pada hasil hutan.

"Misi ABT untuk mengembalikan hutan dan fungsinya seperti dulu, jika hutan yang kita jaga bersama ini bayangkan kesulitan yang dihadapi kawan-kawan Talang Mamak misal jika hutan tidak ada jernang kwmudian hilang, sungai berkurang atau banjirnya lebih parah, dan praktik ladang perpindah akan sulit dilakukan, dan ini tidak hanya mengancam kawan-kawan yang tinggal di dalam kawasan hutan tetapi juga kita yang tinggal jauh dari daerah hutan," ujarnya.

Nety mengatakan PT ABT sebagai perusahaan yang mengelola ekosistem Bukit Tigapuluh berusaha membantu komunitas yang tinggal di dalam kawasan hutan. Ada sejumlah layanan disediakan seperti layanan kesehatan tiap bulan, pengobatan gratis, sosialisasi PHBS dan layanan lainnya. PT ABT juga memberi bantuan berupa renovasi sekolah, menyediakan seragam dan peralatan pendidikan dan menyediakan makanan tambahan untuk anak-anak yang bahan-bahannya dibeli dari masyarakat sekitar (*)

Kategori :

Terkait