JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID- Juliana, Mijak, Tumenggung Ngalo dan Mluring duduk sejajar dengan Kepala Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas, Junaedi bercerita dalam seminar menggali inklusivitas komunitas adat untuk masa depan yang diselenggaran dalam rangkaian acara Pameran Foto Jurnalistik PFI Jambi, Sabtu (26/8).
Inklusivitas (penerimaan) Orang Rimba atau yang disebut Suku Anak Dalam menjadi penting dalam dukungan terhadap komunitas adat ini menjawab persoalan perubahan iklim.
Mijak, tokoh muda Orang Rimba bilang, perubahan kondisi alam yang tidak seperti dulu membuat Orang Rimba beradaptasi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
“Hutan tidak bisa menyediakan hidup lagi, karena masuknya perusahaan di wilayah-wilayah adat Orang Rimba , untuk Orang Rimba Bahagia setiap musim buah tiba dan mendapatkan apapun dari hutan, itu sudah berubah,” jelasnya.
Kehilangan hutan juga memicu mereka untuk lebih sering berinteraksi dengan orang luar. Beragam penyakit dan masalah kesehatan menghantui mereka.
“Bulan ini ada dua anak Orang Rimba yang meninggal karena TB di Batanghari. Sekarang penyakit di Orang Rimba lebih banyak, bukan batuk, pilek saja,” tambahnya.
Mereka juga akhirnya terlibat dalam bidang ekonomi, sosial dan politik dari luar. Perabuhan ini memang tidak mudah bagi Suku Anak Dalam, proses penerimaan orang luar dan dirinya sendiri karena kondisi alam yang berubah membutuhkan proses dan dukungan bersama.
Pendampingan dan Pemberdayaan menjadi upaya "membantu" mempersiapkan mereka untuk berbaur,memiliki kapasitas, keterampilan, kemampuan beradaptasi --- dan memastikan Negara hadir dan memenuhi hak-haknya sebagai warga negara.
CEO Pundi Sumatera Dewi Yunita Widiarti menegaskan pemberdayaan bukan menjauhkan mereka dari adat dan tradisi justru menguatkannya Kembali dengan kemandirian.
“Mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga negara melalui layanan adminduk, kesehatan, Pendidikan dan pengembangan ekonomi. Ini hak mereka yang harus negara berikan. Bukan berarti menjauhkan mereka dari identitas dan akar budaya. Lokasi dampingan yang kami pilih juga di kelompok-kelompok yang memang sudah memilih untuk menetap,” jelasnya.
Ada beberapa proses penerimaan yang sudah dijalani komunitas tersebut, diantanya pengakuan hak identitas sebagai warga negara, Pendidikan, Kesehatan, keterlibatan suara politi dan diskusi kebijakan , perlindungan budaya, pemberdayaan ekonomi, dan pengakuan kearifan lokal terhadap alam .
Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai rumah bagi Orang Rimba juga tidak mampu mengambil peran can tanggung jawab sesuai dengan mandat SK No. 258/Kpts-II/2000 sebagai sumber penghidupan Orang Rimba.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Junaedi menegaskan butuh kerjasama Pemerintah, masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan komunitas itu sendiri.
“Kita butuh kolaborasi bersama untuk menjawab tantangan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam dalam menghadapi perubahan iklim lokal maupun global. TNBD memang rumah bagi Orang Rimba dan kita menghargai praktek kearifan lokal dalam pengaturan dan penggunaan ruang. Adaptasi ini kita masuk dalam zonasi TNBD,” jelasnya.
Orang Rimba hidup berkelompok dan dipimpin ketua kelompok (Temenggung).Ada 13 kelompok, 718 KK & 2.960 Jiwa (bermukim sejak lama secara turun temurun) di TNBD. Setiap kelompok memiliki wilayah adat, TNBD seluas 54.780,41 ha terbagi habis menjadi 13 wilayah adat.