Kalo ditanya, hal ajaib apa yang pernah Aresa temui di dunia sepanjang hidupnya? Maka bertemu manusia akan jadi jawaban yang ia lantangkan sepenuhnya. Pemikiran Aresa itu, selalu saja buat manusia bisa seperti Arjuna terus berpikir berulang – ulang, jika tiba waktunya ia tidak paham sama sekali dengan kalimat – kalimat Aresa yang terkesan ambigu, maka alasan yang sama akan selalui ia layangkan, wanita. Sukanya yang buat pusing tujuh kelilig, yang apa – apanya dibuat ribet padahal solusinya mudah ditindak pakai logika.
“Jadi ketemu gue menurut lo ajaib, secara nih ya kan gue manusia. Ketemu manusia? Ajaib?” Arjuna masih bingung, soal topik pembicaraan Aresa yang selalu diluar nalar, tapi selalu asyik untuk dikulih lebih lama, soal beberapa hal yang jarang tersentuh, sekalinya bertemu beri rasa dan pelajaran luar biasa berguna.
“Kecuali lo, biasa saja, soalnya gua yakin lo bukan manusia!” Tuduh Aresa jahil menahan tawa, “Ngaku lo siluman kan?!” Lanjut Aresa menahan cekikannya yang membuat Arjuna mendengus dan menendang tulang kering Aresa.
“Kan Kan Kan! Kebiasan lo mah! Gua udah serius juga!” Sungut Arjuna, mempercepat langkahnya, meninggalkan Aresa beberapa meter di belakang. Aresa terbehak, mengejar Arjuna dan menjawil tangan sahabatnya itu.
“Cielah, nama boleh Arjuna tapi sukanya ngambekan, malu sama umur, udah gede juga!” Ejek Aresa, yang dibalas dengan dengusan malas oleh Arjuna.
“nggak usah pegang – pegang lo.” Desis Arjuna yang diabaikan oleh Arasa. Kini kedua langkah manusia berbeda jenis kelamin itu sama, siang tengah terik – teriknya, naasnya keduanaya harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh, sebab motor Arjuna yang mogok, dan keduanya yang kompak kehabisan uang jajan. Satu – satunya pilihan untuk pulang adalah jalan kaki bagi keduanya. Sebenarnya bisa saja menumpang pada teman mereka yang lain, namun menghabiskan waktu berdua dengan Arjuna, berbagi kesehariaan mereka walau banyak dihabiskan dengan berdua menjadi momen yang langka akhir – akhir ini.
“Jadi kenapa manusia ajaib?” Arjuna bertanya, lagi. Menuntaskan rasa penasarannya tentang pandangan Aresa.
“Soalnya manusia bisa jadi apa aja yang dia mau, berbagi rasa yang katanya mustahil, berubah dalam sekejap mata, pura – puranya luar biasa menipu, nggak akan ada yang tahu kalo ternyata dibalik senyum setulus itu ada ribuan umpatan buat kita. Nggak akan ada yang tahu, walau diam, banyak rasa yang disimpan sampai muak memendam. Menurut lo kurang ajaib apalagi manusia?” tanya Aresa kembali, yang dibalas gelengan kepala oleh Arjuna,
“Bukannya itu normal?”
“Normal kalo lo nggak suka liatnya, lo bilang nggak suka. Normal kalo lo senyum dengan tulus yang artinya lo bener bener menghasihi orang itu.”
“Jadi menurut lo rata – rata manusia sekarang ajaib? Kalo gitu standar manusia normal yang gimana bagi lo?” Tanya Arjuna, langkah keduanya berhenti, menatap dalam.
“Yang jujur. Yang bisa jujur dalam berpikir dan bertindak, terhadap apapun kepada siapapun. (*)
Ari Hardianah Harahap--