SEOUL, JAMBIEKSPRES.CO.ID- Guna mencapai visi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045, pemanfaatan dan optimalisasi komoditas mineral yang Indonesia miliki menjadi penting. Pengolahan bahan mentah menjadi produk industri (hilirisasi) dan penerapan transformasi ekonomi menjadi salah satu kunci.
Terlebih dengan meningkatnya permintaan pasar global terhadap komoditas mineral dan produk turunannya serta pengembangan produk teknologi ramah lingkungan, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran strategis di pasar global. Hal tersebut diungkapkan oleh Menko Luhut saat menghadiri Business Forum di Seoul, Jumat (24-03-2023).
Berbagai tantangan yang dihadapi tidak menggoyahkan peran Indonesia di kancah ekonomi dunia
“Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan ketahanan dan kekuatannya, terutama di tengah tantangan global yang terjadi seperti pandemi Covid-19, krisis perang Rusia-Ukraina, hingga pengetatan kebijakan moneter di seluruh dunia,” ujar Menko Luhut.
Perekonomian telah mampu tumbuh kembali di atas 5 persen pada tahun 2022 dan PDB per kapita juga meningkat. Di tahun 2020, GDP Indonesia adalah USD 3,936; sedangkan pada tahun 2022 mencapai USD 4,784.
Hal tersebut didasari oleh beberapa faktor, seperti luas wilayahnya yang besar, lokasinya yang strategis, serta dilengkapi dengan sumber daya alam yang melimpah.
“Negara kita ini terletak di sepanjang jalur laut utama yang menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, dan Oseania, serta kaya akan cadangan mineral transisi energi sehingga potensi energi baru terbarukan tinggi,” pungkas Menko Luhut.
Mengutip data dari Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral dan Statista, Indonesia menjadi negara dengan candangan nikel terbesar di dunia, timah kedua di dunia, bauksit keenam di dunia, tembaga ketujuh di dunia, serta memiliki 437,4 GW potensi energi baru terbarukan, yang mencakup solar, air, angin, bioenergi, geothermal, dan laut.
Di tahun 2045 nanti, Indonesia berambisi menjadi negara maju dengan Produk Domestik Bruto (PDB) USD 10,000. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus mampu melakukan setidaknya lima hal, antara lain: memulihkan perekonomian di tengah berbagai tantangan global; meningkatkan efisiensi melalui digitalisasi; memperkuat ketahanan ekonomi melalui peningkatan dana desa; mitigasi dampak perubahan iklim melalui dekarbonisasi dan transisi energi; dan transformasi ekonomi dari berbasis komoditas menjadi berbasis industri.
Dalam rangka menerapkan poin tersebut, transformasi ekonomi yang mempertimbangkan kebijakan hilirisasi juga menjadi faktor penentu perekonomian Indonesia.
Implementasi kebijakan hilirisasi selama ini terbukti memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan meningkatkan nilai ekspor, memberikan kontribusi terhadap PDB, memperbaiki neraca perdagangan, penyerapan tenaga kerja, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa untuk pemerataan pembangunan dan sebagainya. “Akibatnya sekarang ada banyak investasi yang tidak hanya fokus di Pulau Jawa dan jumlah ekspor kita pun meningkat,” sebut Menko Luhut.
Di masa mendatang, kebijakan hilirisasi akan mencakup pendirian kawasan industri bernilai tambah tinggi untuk mendukung digitalisasi ekonomi yang semakin pesat dan tren ekonomi hijau; mengalokasikan sumber energi rendah emisi (hijau) untuk industri bernilai tambah tinggi; serta membentuk talent pool yang berkualitas melalui program screening bagi lulusan sarjana jurusan teknik dan sains untuk diarahkan bekerja di perusahaan kelas dunia di bidang teknologi.
“Kebijakan investasi dan insentif didorong untuk menciptakan ekosistem industri yang komprehensif dan berdaya saing tinggi juga akan didorong,” tegas Menko Luhut.
Aspek kelestarian lingkungan pun menjadi faktor lain yang perlu diperhatikan. Investasi di industri daur ulang baterai lithium, transisi ke penggunaan karbon rendah emisi, dan masa depan climate resilient, serta Just Energy Transition Partnership yang ditandatangani saat G20 2022 menjadi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan Persetujuan Paris. (*)