“Rela itu bukan soal iya, gapapa. Tapi, kita yang terpaksa harus terbiasa tanpa dia disaat keberadaanya terasa seperti udara”
-Argo
>>>***<<<
-Selir Hati, Triad
>>>***<<<
“Argo, kalo kita tau dicintai seseorang dengan sangat itu pasti kerasa banget istimewanya ya kan?” Hari itu Argo tidak paham, mengenai pembahasan Shiela yang setiap malam selalu saja mengungkit – ungkit tentang betapa istimewanya kala dicintai seseorang.
“Kenapa? Mau bilang merasa nggak diperhatiin lagi ya sama aku?” Shiela tersenyum tipis mendengar jawaban Argo yang kelewat judes itu. Shiela merangkul Argo erat, diantara dinginnya angina malam yang sedari tadi sibuk buat dirinya menggigil, peluk marah Argo ini luar biasa hangat untuk Shiela. Berkali – kali Shiela yakinkan, jika dirinya ini dicintai dengan sangat oleh Argo, tapi berkali – kali juga ia dihantui rasa bersalah, takut jika Argo bersamanya ini bukan murni karena mau sama mau, melainkan rasa balas budi yang tak mampu Argo akui selain berkata iya.
“Argo, tumben nggak marah dipeluk?” Tanya Shiela, Argo hanya diam. Kembali membenamkan wajah wanita cerewet itu dalam dadanya. Pelan – pelan peluk Shiela lebih erat, Shiela itu menyebalkan bagi Argo, tapi tak akan pernah buat Argo risih. Sebab jauhi Shiela sama saja dengan gila, walau tak bisa Argo ucap, ia cintai Shiela dengan sangat.
“Argo, aku tuh cinta banget sama kamu tuh. Tapi, rasanya yang sayang itu cuma aku. Cuma, aku yang sayang kamu. Kamu sayang nggak sih sama aku?” Tanya Shiela, mendongak menatap Argo yang menggulir bola matanya malas.
“Enggak, soalnya lo cerewet!” Mau berkali – kali dunia suruh Argo akui rasa di hatinya itu, ia tak akan pernah mampu. Bukan karena gengsi, bukan pula karena tak cinta. Argo taunya bentuk cinta itu ya yang begini, yang dipeluk kala perlu, yang ditepis kala sedih, yang diberi teduh kala masalah hidup begitu menderu – deru datang dengan menggebu. Shiela mungkin rasa ragu, tapi Argo cintai ia sepenuh hatinya.
“Argo…senang ya bisa mencintai Argo, senang juga bisa belajar banyak dari Argo. cuma, akunya udah nggak bisa dalam waktu yang lama sama kamu.” Shiela semakin memeluk erat Argo, seolah melarang Argo melihat ekspresi wajahnya. Shiela menggenggam tangan Argo, tapi kali ini, Argo sadari, jemari tangan kecil itu tak lagi kosong, detik itu tubuh Argo membeku kala ia sadar di jari manis perempuan yang masih menjadi kekasihnya itu melingkar perhiasaan yang sedari lama ingin ia persiapkan untuk beri Shiela, untuk kabulkan rumah sederhana ala Shiela, buat keluarga kecil yang bahagia sama – sama.
“Sayang…” Mata Argo berkaca – kaca, menahan sakit dan tangis yang berlomba untuk lebih dulu meluap. Argo memeluk Shiela lebih erat. “Jangan begini…” Bisik Argo pelan, nadanya bergetar, semakin erat memeluk Shiela.
“Ternyata benar ya, dicintai itu siistemewa ini, tapi Argo….” Shiela terisak, ada luka yang tak bisa ia beri pada orang kasih, tapi hari esok menanti kalo ia tak boleh lebih lama tunda tentang pahitnya hidup, kalo yang selalunya bersama tak melulu bertahan selamanya.
Ari Hardianah Harahap--
“Argo, hidup yang baik, untuk hari – hari yang lebih baik.” Shiela beri perpisahan, yang buat Argo susah lupakan, bertahun – tahun, Argo lupa, kalo ia sudah tidak punya seseorang yang sama, kalo yang ia nanti tak lagi tunggu kehadirannya. (*)