“Apaan, gue belum ngomong!”
“Muka jelek lo udah bilang!”
“Wah…boddy shaming nih lakik satu!”
Juandra mendekatkan wajahnya, menyisakan jarak 5cm pada wajah Arsena, kemudian tersenyum miring, “Memangnya…” Juandra berujar pelan, menggantung kalimatnya tepat di telinga Arsena, meniup telinga Arsena pelan yang buat sang empu merinding seluruh tubuh hingga tulang belakang, “Gue peduli?” Bisik Juandra, menyempatkan untuk menjawil telinga Arsena sebelum meninggalkan Arsena sendirian.
Arsena mematung, harusnya tidak seperti ini skenarionya, setelah malam di IGD itu harusnya mereka canggung, sama – sama malu, sama – sama takut untuk menyapa. Harusnya Juandra memohon padanya untuk sekedar menjaga rahasia saat laki – laki itu menangis seperti anak kecil, harusnya bukan ia yang terus dikibuli oleh Juandra. Jantung Arsena berdebar lebih cepat dari deru nafasnya sendiri, oksigen bahkan tidak mengalir normal di wajahnya, meninggal jejak – jejak rona merah yang buat ia panas bukan kepalang.
“Harusnya mah gue denger kata Raka aja!” Monolog Arsena menghentakkan kakinya, “Yakali orangnya Juandra. Ingat Arsena cuma tertarik karena kasusnya lo penasaran bukan buat rasa menye – menye yang bakal nyakitin kalo dipertahanin!”
“Kenapa lo suka?” sebuah suara menyahuti ujaran Arsena.
“Sama siapa?” Tanya Arsena bingung.
“Juandralah, siapa lagi emangnya?”
“Kalo bocah gila dia mah skip aja!”
“Yakin?”
“Ho’oh”
“Serius?”
“Gue kasih sepuluh rius.”
“Mana tau Juandra juga suka lo,”
“Bullshit!”