“Karena harapan kita semua hidup dan karena harapan pula kadang kita lengah, sebab terlalu mengandalkan yang seharusnya bisa kita usahkan. Karena harapan pula kita bisa mati dalam kesia – sian”
>>>***<<
Padahal ini bukan perpisahan pertama yang dirasakannya, tapi sakitnya tidak sama sekali berkuarang bahkan jauh lebih sakit dari sebelumnya. Magenta tidak tahu kini, apa ia harus tersenyum dan bahagia atau menangis meraung atas apa yang terjadi padanya dan Jeje. Keputusannya benar bukan? Magenta tidak ingin Jeje mnghabiskan waktunya dengan ia yang terlalu jauh terperosok dalam lukanya.
Hujan ia biarkan deras mengguyur tubuhnya, sejak Jeje pergi tak sedikitpun ia beranjak dari tempatnya. Payung yang diberi Jeje masih ia genggam erat, jika dulu Magenta masih bisa menikmati hujan dengan kenanangan tawa dan canda bersama Jeje. Kini hujan hanya memberi memori buruk padanya, terumata beberapa hari belakangan. Hujan beri ia bahagia tak terkira, sampai – sampai ia lupa kalo nantinya ia juga manusia yang akan merasa sakit tapi setelahnya hujan beri ia luka yang luar biasa sakitnya sampai – sampai ia tidak tahu apa yang namanya bahagia itu masih ia dapat sentuh atau tidak.
“Je, dingin!” Adu Magenta, bibirnya pucat, tubuhnya gemetar bahkan rasanya ia hampir membeku. Kakinya juga kram setelah sehabis berlari jauh ia harus berjongkok dalam waktu yang lama.
“Kalo tau sakit kenapa masih disini? Kalo tau sakit kenapa nggak mau bergerak? Nggak semua orang peduli sama sakit kamu!” Magenta tidak tahu yang bicara dihadapannya itu bayang – bayang Jeje atas semu khayalannya atau Jeje yang sesungguhnya. Rambut basah, mata sipit dan senyumannya terasa sangat nyata di hadapan Magenta.
Magenta mengulurkan tangannya, berusa meraba wajah yang ada di hadapannya itu. Jauh dalam hati kecilnya ia berharap itu benar – benar Jeje, sedang dalam logikanya mati – matian berharap agar itu hanya khayalannya, karena Magenta takut jika itu benar Jeje, hatinya kembali membaik, sebab Magenta akan terlalu percaya diri bahwa Jeje tidak akan pernah meninggalkannya sendirian dengan kesepian yang menggaung keras di sekitarnya.
Magenta tersenyum dengan bibir pucatnya, “Lo nggak bisa move on dari gue kan?!” Tawa kecil terdengar dari bibir Magenta, gadis gila. hampir sekarat saja ia masih sempat bercanda tentang perasaanya. Magenta sedih tapi satu – satunya yang mampu menghiburnya hanya ia, ia yang paling apa yang ia mau.
“Dan lo, nggak bisa hidup tanpa gue kan?” Magenta mendapat balasan, Sosok Jeje itu menunduk depannya, Magenta merangkak naik kepunggunya, hujan tidak lagi sederas tadi, tapi air Magenta kini mengalir deras.
“Lo bener – bener nyusahin!” Gerutu Jeje menggendong Magenta perlahan, menjauh dari tempat dimana gadis itu ditinggalkan.
“Je…kalo gue diberi umur panjang” Magenta tersenyum kecil, “Gue akan berdoa, tuhan bisa kasih sakit yang abadi asal lo nemuin yang namanya bahagia sejati.” Bisiknya, Jeje tersenyum kecil.
“Jangan, nanti sakit.” Balas Jeje pelan.
Ari Hardianah Harahap--
“Je…hidup yang bahagia di lagu yang abadi,” Doa Magenta pelan.
“Ta, hidup yang lama, untuk harapan yang nyata.” (Bersambung)