“Untuk janji sampai jumpa yang kita ucap, semoga ada dilain waktu, agar yang menunggu tak sia – sia dan yang datang tak kembali dengan kecewa”
>>>***<<<
Magenta tidak tahu harus bagaimana lagi menjauhkan laki – laki menyebalkan ini dari hidupnya. Jika begini, perasaan yang sudah susah – susah Magenta hapus, akan kembali tumbuh tak terkendali. Jangan jatuh cinta pada perempuan sehancur dia, sebab Magenta dan puing – puing masa lalunya tidak akan pernah kembali utuh untuk memberi sebuah tempat pulang yang hangat pada laki – laki yang begitu terperosok mencintainya itu.
“Je, jangan lagi.” Suara Magenta bergetar, dinginnya angin malam dan guyuran hujan nyaris membuat tubuhnya membeku. Jeje masih setia dengan payungnya, menadahi Magenta, agar pujaan hatinya itu tak kehujanan lebih lama. Jeje mengulurkan tangannya untuk membantu Magenta berdiri, namun diacuhkan oleh wanita keras kepala itu.
Magenta menangis tergugu, Jeje ini sudah terlalu banyak berkoban untuk hidupnya yang ia sendiri tidak lagi mengharapkannya. Dan, sialnya. Dari banyaknya ratusan kontak yang berderet di ponselnya, mengapa harus Jeje yang selalu ia libatkan dalam lukanya. Magenta menenggalamkan wajahnya diantara kedua lututnya, rasanya menyedihkan untuk selalu jadi manusia yang selalu dikasihani.
Jeje menghela nafasnya, ia ini walau orang – orang menjulukinya si paling sabar, Jeje ini tetap manusia. Yang kadang – kadang juga lelah, dihadapkan oleh masalah yang setiap harinya sama, padahal solusinya jelas didepan mata. Jeje memegang erat payungnya, berusaha meredam amarahnya yang membuncah, sebab ia kedinginan dan rasanya sangat muak menghadapi keras kepala Magenta.
Jeje berjongkok, ia samakan tingginya dengan Magenta. Sorot matanya dingin, tapi tak dipungkiri selaksa kelabu samar disana, kecewa yang ia rasa tak bisa ia tutupi sepenuhnya, samarnya udara menutupi embun matanya, kalo nyatanya Jeje itu tidak kuat juga jika disuruh unruk bertahan seoarang diri. Jeje mencengkram bahu Magenta erat, demi tuhan, ini pertama kalinya ia menyakiti Magenta secara fisik. Namun, hanya ini satu – satunya cara agar Magenta-nya tidak harus selalu jatuh di lubang yang sama.
“TATAP GUE TA!” Jeje berteriak, entah sejak kapan kedunya kini diguyur hujan. Bibir Magenta biru, semakin pilu hati Jeje, sebab ia tidak berhasil mengamankan Magenta. Jeje menatap lamat wajah Magenta, “Lo nggak pernah mau dikasihani kan?” Jeje bertanya sarkas, kalimat lembut yang biasa ia lontarkan pada Magenta tak lagi terdengar.
Jeje tau, pemilik hatinya ini sudah sering mendengar bentakan dan kata kasar, dan Jeje tak ingin lagi memberi Magenta sakit yang sama. Ia tuturkan sekiranya bahasa yang mampu Magenta cerna, dengan lembut dan penuh kasih selama ini. Andai hujan tak turun, harusnya Magenta lihat, patahnya Jeje itu terbukti dengan air matanya yang turun deras, yang diam – diam disamarkan semesta, sebab Jeje itu laki – laki yang masih mejaga ego miliknya.
“Kalo gitu bangkit sendiri, Ta!” Jeje mengambil payung yang tergeletak, memaksa Magenta untuk menggenggamnya. “Lo punya kaki kan, Magenta? Jalan, Ta. Jangan nunggu bantuan dari orang kalo lo nggak mau dikasihani. Lo harus tau, manusia itu bergerak hatinya karena kasihan. Karena empati, Magenta!” Jeje berujar frustasi, bingung bagaimana lagi beritahu pujaan hatinya itu.
“Gue capek, Magenta!” Malam ini ada dua hati yang patah sebab kata yang terujar dari salah satunya, “Gue capek, Magenta!” Jeje kembali mengulangi kalimatnya, nada suaranya terdengar serak, mati – matian Jeje menahan tangisnya yang ingin tumpah.
“Je…” Tadinya tubuh Magenta gemetar karena udara dingin yang buatnya menggigil, tapi kali ini seluruh tubuhnya bergetar sebab kalimat yang Jeje ucapkan. Jangan Jeje, Tuhan boleh ambil milik Magenta apapun, selain Jeje. Tuhan boleh beri sakit yang abadi pada Magenta, tapi jangan Jeje. Magenta itu setengah jiwanya ia titipkan pada laki – laki dengan senyum manis itu. Jeje pergi, Magenta mati.
Jeje bergetar, “Gue capek, Magenta! Lo yang selalu nggak pernah mau keluar dari bayang – bayang nggak berguna itu. Gue capek, Magenta! Berjuang untuk orang yang bahkan nggak ada sepersepun keinginannya bertahan. Gue capek, Ta! Gue capek bertahan lama – lama di sisi lo yang bahkan abai sama adanya gue.” Bohong, semua kalimatnya bohong, apapun perihal Magenta sejatinya bahagia Jeje.
Ari Hardianah Harahap--
Jeje berdiri, menatap Magenta sekilas sebelum ia tinggalkan sendirian di tengah guyuran hujan yang semakin deras, “Let’s break up, makasih untuk waktu di masu lalunya.” Ucap Jeje kelawat pelan, nyaris tak terdengar yang sayangnya di dengar jelas oleh Magenta. Jeje berjalan perlahan, diamnya bukan berarti ia tak terluka, hati Jeje meraung sebab bukan ini yang ia mau, bukan ini harusnya. Jeje ini jika ditanya perihal cinta dan belahan jiwa, tak ayal sama saja, Magenta pergi, Jeje mati. Dan langkah yang Jeje tempuh ini, gegabahnya ia yang tak sepenuhnya mengerti arti dewasa. Tentang mengerti dan dimengerti oleh hati manusia lain. (*)