“Lucu ya, bahasan kita perihal banyak hal dan apapun yang bisa dibicarakan untuk tiap langkah lebih baik di masa depan. Sedang kita, bertahan di langkah yang sama, takut untuk sebuah perubahan dan terus ragu mengambil pilihan”
yamaha--
>>>***<<<
“Manasia itu humornya nggak main – main ya, susah untuk diikuti, bahkan kadang saat mendengar aku nggak habis pikir. Ada manusia yang hidup, setengah gila memikirkan buat mengakhiri hidupnya. Ada manusia yang sudah mencapai akhirnya, mati – matian mempertahankan sisa harinya.” Percakapan yang menginvansi dua sejoli itu terjadi cukup serius, deburan ombak yang ramai serta berisiknya lingkungan sekitar mereka tidak menjadi penghalang percakapan berat yang terjadi di antara mereka tiba - tiba.
“memangnya kamu bukan manusia?” Tanya satunya lagi, ekspresi sang empu yang ditanya mengernyit heran. Ia memandang bingun, sosok seumuran yang kini menatapnya dengan binar polos, bahkan masing – masing ditangan kecil mereka masih memegang es kelapa muda masing – masing dengan erat, takut tumpah sebab tumpu yang digunakan tangan kecil itu tidak kuat lama – lama untuk mempertahankannya.
“Manusia,” Jawabanya, “Lalu?” Pertanyaan itu datang kembali yang membuat sang empu semakin tidak paham, “Kita juga bakal jadi salah satunya bukan, manusia yang hidup tapi mengeluh untuk berakhir setiap saat atau manusia yang hampir berakhir, bertahan setengah mati untuk sisa harinya.” Lanjutnya menjelaskan.
“Tapi itu bukan pilihan!” Protesan itu datang dari bibir yang sedari tadi menggerutu lucu, mengundang kekehan, “Iya, tapi tiap kita punya kesempatan bukan?” Balasnya memberi pengertian.
“Kesempatan apa?”
“Kesempatan menentukan pilihan.”
Setelahnya hening terjadi di antara mereka, “Kalo kesempatan kita kapan?” Pertanyaan itu datang lagi, sang empu yang harus menjawab mendesah nafas lelah, berapa banyak lagi hal yang harus ia jawab hanya demi menuntaskan rasa penasaran seseorang yang menjadi temannya dalam dua jam belakangan ini, yang ia yakani tak akan pernah puas.
“Kalo bisa memanfaatkan kenapa harus ada kesempatan?” Jawabnya, “Kesempatan itu penenang, masa – masa kita percaya akan ada yang lebih baik di depan. Tapi kalo dipikir – pikir kesempatan tidak terlalu di butuhkan bukan jika kita pintar memanfaatkan.” Lugasnya.
Yang menunggu akhirnya terkikik geli, “Dasar fakir!” Ejeknya, berdiri dari duduknya, mengajak yang memerah sebab diejek itu turut berdiri, “Kesempatan itu dibutuhkan, buat kita yang tiap langkahnya punya kesalahan. Dan kesempatan itu nggak akan ada yang sia – sia, kalo kita pintar memanfaatkan, apapun keadaannya, sebab kita punya pilihan, buat bertahan atau membiarkannya tanpa perlawanan.” Sore itu, ditengah deras ombak, percakapan dua insan itu, usai, perihal kita punya kesempatan. (Bersambung)