“Nggak perlu buru – buru, kalo udah dari awal takdirnya sama kamu, mau dunia jungkir balik juga pasti sama kamu akhirnya”
-Sundra, kalo sama Arisa apa sih yang nggak indah?
>>>***<<<
Sundra akan jadi manusia yang sangat kehilangan logikanya jika sudah dihadapkan cinta, tipe manusia yang merugi hanya sebab perihal hatinya yang hanya satu, rasanya yang tak utuh, jadi apa salahnya untuk memulai lebih dulu, sudalah sakit, dirinya tiada sudah merindu, defisi sesungguhnya budak cinta menyerempet gila. Sundra sering mendengarnya, bahkan dikata – katai langsung oleh Sadap dan Sandra tidak membuat Sundra goyah dan lelah, memantapkan hatinya hanya untuk Arisa, walau perempuan itu tak pernah sedikitpun meliriknya, bahkan hingga Sundra mengakui rasa yang sudah lama singgah itu pada sang empu, Sundra hanya mendapat sebuah lega yang tak menyisakan sudah, lega karena pengakuan, sakit akan kenyataan, perihal keputusan tanpa kepastian.
“Mencintai itu boleh, tapi jangan bego. Yakali semuanya sama Arisa lo kasih, tuh cewe aja kagak ada ngelirik lo sama sekali,”
Itu kalimat yang sangat jelas diingat oleh Sundra, rentetan kalimat dari Sadap yang membuat rasa sakit Sundra terasa lebih nyata. Sundra tahu, rasa ini pelan – pelan membunuhnya, perempuan memang banyak tapi tak seperti Arisa, tak seperti yang ia ingin, tak seperti pujaanya, lalu Sundra bisa apa jika jiwa dan logikanya terkuci pada Arisa, tidak ada yang salah dari mendamba. Caranya boleh salah, tapi rasanya itu nyata, jadi pelan – pelan saja, tanpa oranglain tahupun, Sundra mati – matian berjuang, agar rasa itu tak menatap selamanya, yang membuatnya buta pada sekitarnya. Sundra tahu, nanti ada masa ia terbunuh oleh rasa itu sendiri, Sundra tau berlebih tak pernah ada yang baik, lalu Sundra bisa apa, ia sulit mengontrol hati dan pikirannya, Sundra pasrah bukan karena ia menggila setengah mati, ia bingung, kini langkah apa untuk memulai kembali jika ia terus terjebak di lubang yang sama tanpa tali temali.
“Ndra, mungkin kalo ada yang harus gue syukuri di dunia ini atas pemberian tuhan ke gue, gue bakal berterimkasih karena kehadiran lo,”
Suara Arisa mengalun indah menghunus gendang telinga Sundra, temeram sore itu dengan bungkusan es plastik dan kacang rebus setengah hangat, Sundra tidak mampu menahan rasa yang terus meletup – letup dalam hatinya, dambanya kian menjadi, debarnya kian dahsyat, andai saja bisa, ingin Sundra rengkuh dan peluk wanita yang menjadi semestanya itu dengan kasih. Tapi, Sundra tidak lupa, Arisa bisa jadi semestanya, tapi bagi Arisa, Sundra tak lebih dari oasis di sahara, perempuan itu bersyukut atas kehadiran raganya, bukan perasaan hatinya.
“Jangan lagi, lo kalo mellowdramtis buat gue makin jatuh cinta, entar gua susah lupa, kalo lo sama yang lain gua jadi serba salah, mau maju gimana, mundur nggak rela.” Sundra berkata dengan raut serius, hanya saja Arisa tertawa, baginya perkataan Sundra itu sepenuhnya canda, padahal jika saja Arisa tahu, Sundra tengah gugup dan tak percaya, ia ingin Arisa tahu perihal rasanya, tapi harus tertelan pahit, sebab rasanya hanya sumber tawa bagi Arisa, canda yang menyakitkan bagi Sundra. Senyum pahit Sundra perlihatkan, tapi tak begitu lama, ia mencinta tapi tidak untuk memaksa. Arisa berhak bahagia bahkan ketika tawanya adalah hal paling menyakitkan bagi Sundra, tak apa, mencitai Arisa itu cukup dengan melihat perempuan itu bahagia dan baik – baik saja, maka Sundra akan sama leganya.
Jatuh cinta pada Arisa itu susah – susah gampang, ada khawatir, gugup, senang, sedih, dan berbagai emosi yang bertabrakan tapi memberikan sensasi lain yang candu untuk di ulangi, tawanya sakit, tapi tak ada tawanya juga sama sakitnya, hampa itu bukan lagi perihal Sundra merindu pada Arisa yang tak ia temui seharian penuh karena kesibukan mereka, hampanya Sundra itu jika nanti Arisa tiada, tanpa Arisa, Sundra bisa apa tentang rasa, sebab ia titipkan sepenuhnya pada Arisa diam – diam, membiakan ia terus di ujung tanduk tiap harinya dan memacu adrenalin tiap detiknya, Arisa kapan peka sih? Cinta Sundra itu sudah lengkap tiada tara, jika saja iya, sudah Sundra jadikan Arisa jadi wanita paling bahagia yang ada di dunia. Apa yang tidak untuk Arisa, Sundra bawakan semesta jika bisa. (bersambung)