“Siapa yang bolehin? Kita ada berempat disini, kalo lo iya belum tentu kita iya.” Arisa masih perempuan dengan karakter yang sama, saat ia tak suka maka tidak ada alasan ia harus berbohong untuk menyenangkan hati orang lain, Arisa tau itu menyakitkan, tapi kehidupan juga tidak terus ada untuk membuat kita hidup dengan senang bukan? Ia mengajari kita untuk menerima manusia lainnya, menelan ego yang kadang menang dibanding kewarasan.
Sundra diam, posisinya serba salah. Mendapati keterdiaman Sundra, Ayasa mengambil inisiatif sendiri untuk bertanya pada yang lainnya, “Kakak – kakak yang lainnya boleh nggak saya duduk disini?” Tanya Ayasa.
Sandra mengangkat bahunya acuh melanjutkan kegiatan makannya, Sundra mengangguk, “sok aja atuh, tempat umum juga.” Jawab Sundra, Aya tersenyum senang, ia mengambil tempat persis disamping Sundra berhadapan dengan Arisa. Tepat saat Aya memposisikan dirinya, tepat saat itu juga Arisa berajak dari duduknya.
“Gua kenyang, nggak selera.” Ujar Arisa dan pergi begitu saja, Sundra tampak bingung, sedang Aya makin tersenyum senang seolah kepergian Arisa-lah yang ia tunggu. Sandra mengempaskan sendoknya dengan nada yang sedikit keras, turut berdiri dan mengemasi barangnya.
“Kalo gue sih sadar diri buat nggak lebih caper lagi dari ini,” Ujar Sandra menatap Sundra, “Gue kenyang, bener ya kata Arisa dulu, seseorang tu bisa mempengaruhi bisa nafsu makan. Padahal sup yang kita beli lumayan mahal.” Sandra berujar skeptis, berlari menyusul Arisa.
“ARISA TUNGGU GUE!” Teriak Sandra. Tersisa Sadap, Sundra, dan Aya. Sadap turut bangkit dengan menghentak meja sedikit keras, kemudian tersenyum seolah tak melakukan apa -pun, padahal kuah sup dimeja mereka sedikit tumpah.
“Ada kurang lebih 8000 mahasiswa, dan lo masih percaya zaman sekarang ada yang nggak punya temen? Wah…” Ujar Sadap, tadinya dia tak ingin ikut – ikutan, tapi mengingat jasa Arisa dalam memperbaiki hubungannya dengan Sandra sejak dulu, tidak ada salahnya untuk sedikit membantu.
“Gue kenyang, udah nggak selera tepatnya!” Balas Sadap mengamit ranselnya dan meninggalkan Sundra juga Aya. Segera turut berlari menyusul Sandra dan Arisa.
Saat berlari Arisa dan Sandra menarik Sadap yang tampak celingukan mencari mereka, bersembunyi dibalik dinding yang tak jauh dari jarak meja mereka tadi, “kalian ngapain sembunyi gini?” Tanya Sadap turut ikut bersembunyi dan mengintip.
“Menurut lo?” Tanya Arisa sewot, matanya masih fokus mengamati Sundra dan Ayasa yang tampak membicarakan sesuatu.
“Karena Sundra?” Sadap balik bertanya, namun tidak ada jawaban dari Arisa. Sadap menatap Sandra memberi kode melalui matanya, “Yang namanya temen nggak boleh ada yang namanya cemburu apalagi merasa punya, lo bukan dunianya juga bukan siapa – siapanya.” Sadap tersenyum puas berhasil menyentil harga diri Arisa. Melihat Arisa merespon dengan kepalan tangannya yang semakin erat, walau Arisa tidak sadar dengan aksinya, Sadap tahu bahwa itu bentuk pertahan Arisa pada egonya.
“SUNDRA KALO LO NGGAK DATANG LEBIH DARI LIMA MENIT FIX KITA NGGAK AKAN PERNAH TEMENEN LAGI!” Teriak Arisa, sebelum berlari meninggalkan Sundra dengan wajah tercengannya. Demi Sundra, Arisa patahkan egonya, agar lagi taka da rasa yang sia – sia dan hati yang kembali patah. Arisa benar bukan? (bersambung)