Bagian 25: “Semoga Dukanya Bisa Jadi Bahagia Ya”

Jumat 08-07-2022,06:52 WIB
Editor : novantosetya

Kupejamkan mata ini

Mencoba 'tuk melupakan

Segala kenangan indah

Tentang dirimu, tentang mimpiku

Semakin aku mencoba

Bayangmu semakin nyata

Merasuk hingga ke jiwa

Tuhan, tolonglah diriku

Entah di mana dirimu berada

Hampa terasa hidupku tanpa dirimu

Apakah di sana kau rindukan aku?

Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu

Selalu merindukanmu

-Ari Lasso, Hampa

֍♠♠♠♠֍

“Manusia tu emang ladangnya pura – pura, seolah bisa segalanya, bilang ke semua orang kalo dia baik – baik aja, padahal hari itu, ia menemui kehancuran abadinya”

-Jingga Sanarati

>>>***<<<

Jingga menatap kamarnya hampa, setengah jam lalu, Jingga benar – benar disadarkan oleh kenyataan, didepan matanya Aji dikebumikan, derai tangis air mata pilu dan teriakan tak ingin kehilangan terus mengisi gendang telinganya sejak kemarin. Seharusnya, dibanding luka Mama, Mas Arya, dan Enza, lukalah Jingga seharusnya tidak seberapa. Toh, Jingga hanya menemani Aji dalam waktu yang sangat singkat, rasanya hanya sepersekian detik ia melihat Aji sebelum   berkedip, dan kemudian Aji tak lagi ada, menghilang dari pandangannya. Berkali – kali Jingga mencari atensi kekasihnya itu, Jingga harus menelan pil pahit, Aji ternyata benar – benar pergi meninggalkannnya.

Jingga memeluk boneka pemberian Aji, ia baca kembali pesan – pesan Aji di ponselnya. Saat Aji masih ada pesan – pesan itu terasa biasa saja, bahkan berkali – kali Jingga mengatakan pada Aji bahwa Aji tidak perlu mengirimi hal – hal seperti itu untuknya, pesan suara yang kadang berisi curhatan hati Aji, atau pesan text yang penuh dengan nasehat serta kata – kata konyol milik Aji. Jingga terisak, setiap kali mengingat Aji, setip saata itu pula hatinya terasa bagai di gores ribuan benda tajam. Mengapa kehilangan Aji begitu terasa menyakitkan? Padahal ini bukan kehilangan pertama Jingga.

“Jingga…..udah tidur belum sih? Kalo aku habis ngirim ini langsung tidur, soalnya udah keburu malem banget. Habis main game, kalah, padahal di awal udah ngesok ngajak war gitu loh seolah tim aku sama Sakul bakal menang!”

Jingga terkekeh, sama seperti kebanyakan anak laki – laki lainnya, Aji juga sama, senang memainkan game, bahkan tak jarang Jingga juga cemburu saat Aji bermain game, sebab kekasihnya itu pasti akan segera lupa tentang dirinya dan berujung lupa waktu yang membuat Aji mengeluh dan merutuki dirinya sendiri karena terlalu larut dalam permainan.

“Jingga….” Rekaman suara Aji yang lain, ada jeda panjang diantara kalimat Aji, rekaman ini Aji kirim seminggu yang lalu, namun baru Jingga dengarkan sekarang. “Kamu pasti nggak suka ya aku kirim rekaman suara gini? Hufftt…tapi, aku juga nggak puas kalo ngetik gitu doang. Emang udah paling bener tuh temu langsung, tapi akhir – akhir ini kamu susah dihubungi….”

Jingga mengusap air matanya, “Harusnya kalo tau gini, aku nggak akan pernah ngelepasin kamu barang sedetikpun Ji,”

“Jingga ada yang lucu tau nggak sih?” Rekaman suara Aji itu masih berlanjut, rasanya seperti Aji kini tengah berada di samping Jingga, seperti biasanya mereka berbicara.

“Apa?” tanya Jingga getir, entah pada siapa. Rasanya kini Jingga tak ayal menjadi seperti orang gila.

“Aku galau gara – gara kamu selama dua hari, dan kamu tau waktu aku cerita sama Mas Arya. Mas Arya kayak nasehatin gitu, tapi entah kenapa di awal – awal aku ngerasa kalo Mas Arya tu kayak nggak setuju gitu sama kita, buat badmood dengernya, aku jadi nggak minat mau ngapa – ngapain. Walau di akhir saran Mas Arya emang berguna banget, kita jadi baikan. Lucu ya kita, Cuma gara gara riwayat berwosing internat aja, mikirnya udah kayak mikir masalah rumah tangga hahaha..”

Jingga turut tertawa mendengar tawa Aji, rasanya seperti sudah sangat lama, padahal belum terhitung genap dua puluh empat jam Jingga mengantar Aji ke peristirahatan terkahirnya. Ke tempat peraduan yang sesungguhnya, “Kamu sih kebanyakan overthingking! Padahal aku secinta itu loh sama kamu, bisa – bisanya kamu mikir aku bakal sama yang lain! Tapi gara – gara itu aku juga jadi tau kalo ternyata kamu setakut itu ya buat kehilangan aku hahah…dasar bulol!” balas Jingga, tangisnya semakin keras. Dadanya sesak, sumpah demi alam semesta, Jingga butuh Aji di sisinya.

“Jingga, kamu tahu, kehilangan itu menyakitkan, terutama untuk aku. Kehilangan kapten buat aku belajar untuk nggak meninggalkan penyesalan sedikitpun buat orang – orang yang aku cintai. kamu tahu, kehilangan kapten itu penyesalan yang nggak pernah bisa aku lupain dan aku deskripsiin rasanya, dan kadang – kadang aku selalu ngerasa takut setiap malam, waktu orang – orang tidur atau pergi. Aku takut kalo besok pagi aku nggak bisa liat mata mereka buka lagi, aku takut…kalo aku nggak bisa nemuin mereka lagi…”

Kali ini Jingga tidak terisak, suara parau dan isakan pelan Aji di rekaman itu memberitahu Jingga, bahwa selama ini di balik kata ‘baik – baik saja’ kekasihnya itu menyimpan luka, yang sakitnya ia simpan sendiri, dan saat kekasihnya itu berniat membagi lukanya, Jingga malah se-abai itu.

“Aji…..kamu buat aku menyesal seumur hidup,” Gerutu Jingga, berkali – kali Jingga mengusap air matanya berkali – kali pula air matanya itu tumpah seperti keran air yang tengah bocor.

“Jingga maaf kalo belum bisa jadi yang terbaik buat kamu…”

“Aku yang harusnya minta maaf Aji!”

“Kamu tau kehilangan kamu itu nggak pernah ada di pikiran aku, jadi tolong tetap di samping aku…”

“Aku disamping kamu Aji, kamu yang pergi, kamu yang ninggalin Aku sendirian…”

“Makasih Jingga, untuk semua ceritanya untuk semua kisahnya.”

“Aku nggak butuh makasih aku butuh kamu,”

“Jingga bobo yang nyenyak habis ini dan bahagai selalu sayang…”

“Kamu harus ada biar aku bahagia, biar mala mini aku bisa tidur yang nyenyak!”

“Aku sayang kamu, Jingga.”

Demi tuhan, Aji pulang, Jingga rindu. (Bersambung)

 

 

 

Kategori :