Bagian 22: “Di Penghujung Hari Diantara Kita”

Selasa 05-07-2022,06:37 WIB
Editor : novantosetya

Senada cinta bersemi di antara kita

Menyandang anggunnya peranan jiwa asmara

Terlanjur untuk terhenti

Di jalan yang telah tertempuh semenjak dini

Sehidup semati

Kian lama kian pasrah kurasakan jua

Janji yang terucap tak mungkin terhapus saja

Walau rintangan berjuta

Walau cobaan memaksa diriku terjerat

Dipeluk asmara

-Fariz RM, Sakura

֍♠♠♠♠֍

“Semuanya bakal baik – baik aja, hingga penghujung hari kita nanti, kita akan tetap sama, jangan kecewa apapun nantinya.”

-Aji, haanya Aji.

>>>***<<<

Ada dimana saat – saat Jingga merasa dunianya hanya berpusat pada Aji, saat sekelilingnya bagai panorama fana, dan Aji menjadi satu – satunya titik tempat ia berputar. Aji itu ibarat Fajar dan Senja. Paginya, ia memberi harapan baru pada setiap orang, menyisipkan semangat hanya dengan senyum dan sapaan manisnya, mungkin beberapa dari manusia beruntung diantara mereka dapat mendengar jokes bapak – bapak ala Aji, dan mendengar tawa kekasihnya itu, yang rasanga begitu candu untuk terus diulangi.

Padahal jika dipikir – pikir kembali, Jokes Aji tidak ada lucu – lucunya, memang dasarnya Aji saja yang begitu mudah tertawa, kalo bahasa gaulnya sekarang receh. Dan Aji itu juga ibarat senja, begitu tenang dan menyejukkan. Siapa pun yang berada di dekat Aji, rasa tenang itu akan menggelora untuk datang, layaknya air ditengah oase panas. Aji selalu memberi vibrasi aneh yang membuat setiap orang betah untuk duduk lebih lama bersamanya, untain ceritanya layaknya kisah fenomenal, yang bila satu kata saja dilewatkan, rasanya begitu mencolos, menyangkan beberapa saat yang tak dinikmati dengan benar. Aji itu juga indah, Jingga tidak buta jika kekasihnya itu tampan, walau kulitnya tidak seputih artis – artis korea, kulit sawo matangnya memberi kesan maskulin sekaligus manis. Dan beberapa kali Jingga dapati jika Aji begitu…errrr….. Sexy?

Jingga menatap kemeja yang terikat di roknya, kameja milik Aji. saat berjalan bersama tadi, tidak sengaja seseorang mendorong Jingga dan menumpahkan minuman tepat di rok putih Jingga. Belum lagi noda minuman itu meninggalkan warna yang sangat tampak jelas. Ini yang membuat Jingga malas mengenakan pakaian putih saat keluar, namun dirinya dan Aji sudah berjanji untuk memakai pakaian dengan warna sama, dan sepakat untuk memilih warna putih berpadu biru muda, persis seperti warna langit cerah. Berkali – kali Jingga merasa tidak nyaman, berkali – kali juga Aji bertanya tentang apa Jingga baik – baik saja atau tidak, Jingga hanya tersenyum dan mengatakan bahwa semuanya masih sama, sama baiknya seperti lalu walau saat ini mood Jingga hancur hingga ke palung paling dasar. Dan tiba – tiba Jingga sudah mendapati kekasihnya itu memeluknya, mengikat kemeja itu, menutupi noda, dan membuat Jingga merasa nyaman.

Di seberang jalan, Jingga dapat melihat Aji melambai dengan sebukut bunga ditangannya. Jingga dapat melihat jelas jenis bunga apa yang ada di genggaman Aji, bunga matahari. Aji melompat riang di seberang sana, rasanya seolah tidak sabar untuk memberi apa yang ia tanam sedari lama untuk Jingga, dan Jingga sama tidak sabarnya untuk menerima, memberi pelukan dan sebuah pujian. Mungkin jika Jingga tidak malu hari ini, Aji dapat mendengar setulus – tulusnya perasaan yang ada di hatinya. Padahal lampu hijau sebentar lagi akan usai dan memberi jeda pada pejalan kaki seperti mereka untuk menyebrang yang sayangnya bagi Aji dan Jingga, dua sejoli yang tengah ada dalam kubangan dawai asmara itu tidaklah berlaku, satu detik rasanya bagai berabad – abad.

Jingga sengaja menelpon Aji,   di seberang sana dapat terdengar suara berat Aji dengan nada ceria, “Ciee…nggak sabar ya ketemu akunya, padahal seberang jalan doang ini!” Ujar Aji, Jingga sontak tertawa, menatap tepat dihadapan Aji. walau mereka terpisah beberapa meter, Jingga masih dapat merekam jelas setiap inci dari postur kekasihnya itu.

“Aku yang nggak sabar atau kamu yang nggak sabar?” Tanya Jingga berbalik, tersenyum manis dan terus terkekah. Aji turut terkekeh pelan di seberang sana.

“Hmmm….gimana ya? Yaudah kayaknya aku yang nggak sabar.”

“Bucin!” Komentar Jingga.

“Bucinnya kamu?” Tanya Aji dengan mata menyipit, Jingga mengangguk – angguk lucu, rambutnya bergerak seiring dengan gerakannya, poni depannya sedikit berantakan setelahnya.

“Kenapa harus bunga matahari?” Tanya Jingga, pertanyaan random, lambat laun kendaraan mulai berhenti sebab traffic light sudah menunjjukan lampu merah. Aji tersenyum, berjalan bersamaan dengan telepon yang masih terhubung bersama Jingga.

“Kamu pernah bilang kan kalo aku itu kayak fajar dan Senja. Itu cuma langit Jingga, Fajar dan Senja nggak akan ada kalo nggak ada matahari, dan matahari yang buat fajar sama senja itu kamu.”

“Aku?”

“Memangnya kamu berharap siapa? Yang lain namanya selingkuh dong.”

“Aji,” Bisik Jingga pelan, “Aku….” Nada Jingga terhenti sesaat, “Aku Cin—t” dan anehnya semesta seolah tak mendukung Jingga memang untuk mengatakan isi hatinya.

BRAKK

“AJII!!!” Pekik Jingga, matanya membulat terkejut, seluruh badannya gemetar, telinga berdengung sakit. Rasanya begitu lemas, jiwa Jingga seolah sengaja ditarik, dan Jingga terduduk tak berdaya. Ponselnya terjatuh, sudah tak ia hiraukan lagi benda pipih itu retak diantara kerumunan kaki yang ribut mendahuluinya, matanya memanas, berair dan memerah. Itu bukan rasa dimana Jingga lelah tertawa hingga ia harus menangis memohon berhenti pada Aji. rasanya begitu hampa dan terlalu perih, hatinya tiba – tiba saja dideru gelombang keadaan dimana ia tidak sanggup menerima dan mencerna apa yang terjadi di sekelilingnya.

Kakinya terseok, ia paksakan untuk berjalan walau rasanya begitu berat, “Aji! Aji! Aji!” Panggilnya, memecah kerumuan yang mengelilingi tubuh kekasihnya itu dengan paksa. Ia terduduk lemas, ia menangis keras, menepuk wajah yang beberapa bulan terkahir menjadi energi untuknya. Jemarinya gemetar, menyusuri dan memukul pelan wajah orang yang ia cintai.

“Ji, bangun!” Bisik Jingga, suaranya nyaris hilang. “Ji bangun hiks!”   Jingga menggoyangkan tubuh Aji pelan, tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Tubuh laki – laki itu mendingin seiring noda merah yang terus kian banyak tergenang diantara mereka, kaos putih yang kekasihnya pakai kontras berubah warna, menjadi warna merah darah. Mata yang tadi berbinar ceria dengan genggaman yang penuh buket matahari kini tergelatak begitu saja, kini genggaman itu diisi dengan genggaman Jingga yang hatinya tengah risau dan berantakan.

“Ji, kamu boong banget sih kalo gini! Bercandanya nggak lucu Ji!” Jingga berteriak, ia goyangkan tubuh Aji lebih kuat, ia genggam tangan kekasihnya itu lebih erat. Tangan satunya lagi mengusap rambut Aji, “Kamu nggak boleh gini, bercanda kamu udah kelewatan, bangun!” Pekiki Jingga dengan derai air matanya. Jingga memeluk Aji erat, tidak ada respon, tubuhnya kini semerah kaos Aji. “Ji bunga mataharinya belum kamu kasih ke aku!” Jingga terus saja membuat Aji bangun, hingga suara sirena ambulan memecahkan segala pemikiran Jingga, ia harap ini mimpi, ia harapa ini hanya khayalan semata miliknya, atau nantinya Jingga dapat mendengar suara tawa Aji karena berhasil mengerjai dirinya hingga rasanya setengah nyawanya melayang. Jingga berjanji, jika Aji mengakhiri kekurang kerjaannya ini, Jingga tidak akan marah.

“Mbak ayo ikut saya,” Suara itu tak lagi Jingga kenali dari mana, namun satu yang ia tahu, peristiwa itu benar terjadi dan bunga matahari itu tak pernah sampai padanya, bahkan hingga di penghujung hari, diantara mereka. (bersambung)

 

Kategori :