Blrub:
Selamat datang di bagian satu #komplek budak cinta Aji itu manusia yang kelakukannya sebalas dua belas dengan setan, kalo dilombakan dengan setan, setan yang jadi juara duanya. Namun, begitu – begitu kalo kata Sakul yang bernotabe sebagai sahabat sehidup semati Aji titik nggak pake koma, Aji itu cuma manusia gila, yang jadi budak cintanya Jingga Sanarati, calon dokter masa depan sekaligus pendamping hidup masa depan Aji, jika iya. Dan babu setia kucing – kucingnya. “Jingga, jangan takut jadi apa adanya. Kamu sempurna dengan cara kamu!” “Jingga, nggak akan ada cowok kayak aku nantinya, karena Setiaji Archandra itu cuma aku, the one and only miliknya Jingga.” “Jingga, Enza itu adik aku paling manja, yang paling sering aku ajak tengkar, asal kamu tau diantara keluarga kapten Chandra dia yang menyimpan luka paling lama, bahkan tentang kehilangan kapten kami. Lalu Mas Arya, begitu – begitu Mas Arya itu pernah mencintai seseorang dengan sangat bahkan lebih dari aku, aku mah nggak ada apa – apanya dibanding Mas Arya. Kalo Mama, kamu nggak akan pernah menemukan kekurangan dari sosok seorang Mama. Si Sakul jangan ditanya, blegug gitu dia yang paling tau caranya berteman.” Dibaca dengan hati – hati karena kisah ini dibuat dengan hati dan author buat ini dengan cinta sambil ketawa ketiwiBagian 1: “Keluarga Cemara Ala Kapten Chandra” Harta yang paling berharga adalah keluarga Istana yang paling indah adalah keluarga -BCL, Harta Berharga ֍♠♠♠♠֍ “Kapal ini sudah tak lagi terasa sama, entah sejak kapan ekstensi keberadaan kaptennya menghilang begitu saja, dan tiba – tiba kapal ini terus berlayar tanpa kapten kemudian” -Keluarga kapten Chandra, 2022 >>>***<<< Aji tengah mengumpulkan nyawanya setelah bangun tidur, bersemedi di atas kasurnya dengan dua tangan yang ia satukan di depan dadanya. Dirinya masih sangat mengantuk, namun kuliah paginya harus membuatnya terjaga jika tidak ingin mengulang tahun depan. Aji menarik dan mengluarkan nafasnya berkali – kali, rambutnya acak – acakan, kasurnya kusut, dan wajahnya masih penuh dengan jejak pulau bekas semalam. “Mandi sana Bang!” Dari balik pintu sebuas suara mengintrupsi kegiatan Aji bersamaan dengan lemparan handuk yang tepat mendarat di wajah Aji. Aji membuka mata, menatap tajam gerangan manusia tidak tahu diri yang melemparnya dengan seenak jidat, sedang sang empu yang menjadi tersangka hanya menatapnya datar. “Nggak ada sopan – sopannya lo sama yang lebih tua!” Kesal Aji, beranjak dari kasurnya. “Hilih! Beda satu tahun aja, gayaan banget!” “Heh! Gitu – gitu gue ngirup oksigen satu tahun lebih lama dari lo ya blegug!” Aji berusaha memasang wajah garang, namun wajah bantalnya yang masih penuh dengan belek membuat wajah Aji malah terlihat menyedihkan, tidak beda jauh dengan orang gila yang sering nangkring di simpang lima depan komplek perumahan mereka. “Iyain, si yang paling lama ngirup oksigen!” Enja membalas perkataan Aji dengan nada mengejek, meninggalkan Aji. Namun, di tangga terkahirnyanya Aji dapat mendengar satu – satunya adik yang ia miliki berteriak, “KATA MAMA CEPAT TURUN KITA SARAPAN BARENG!” Aji bergegas turun setelah mandi, dengan kameja tangan pendek berkerah dan celana jeans berwarna hitam. Aji merapikan rambutnya sedikit, mematut kembali penampilannya pada cermin, dan sempurna. Aji segera memeluk mamanya yang tengah menggoreng telur di dapur, biasanya ia akan membantu mamanya. Sebab jika anak Mama lainnya yang membantu, dapat dipastikan dapur akan segera terbakar dalam waktu lima menit. Aji memberikan kecupan pagi di pipi Mamanya. “Mowrning mamaku yang paling jelek,” Sapa Aji yang dihadiahi sebuah cubitan pelan di perutnya. “Sshh….pelan – pelan gitu tetap sakit loh Mah!” Protes Aji menatap Mamanya, mengusap perut bekas cubitan Mamanya, “Mata kamu itu buta ya bang? Mama cantik – cantik gini bisa – bisanya kamu bilang jelek setiap harinya.” Komentar Mama menatap Aji tidak percaya, Mama berakting dramatis menyentuh dadanya, memasang raut wajah paling tersakiti miliknya. Aji menangkup wajah Mamanya, memandang netra Mamanya intens, “Siapa yang berani bilang mama jelek?! SIAPA MA?!” Aji melanjutkan akting Mamanya, memasang wajah terluka, dan pura – pura menangis. Mama turut ikut berpura – pura menangis, terisak – isak menyeimbangi naskah sinetron abal – abal yang dibuat dadakan oleh Aji. Sedangkan di meja makan, tampak dua orang laki – laki yang memutar bola mata jengah dengan dengusan nafas malas. Kapan King dan Queen drama itu berhenti bertingkah menjadi orang gila. “Ma, Arya bisa terlambat kerja kalo Mama ngaledenin si Aji mulu,” Mas Arya, anak pertama Mama alias Mas-nya Aji, meluncurkan protes pertama kali, menatap piringnya yang masih kosong sebab Mama yang fokus berakting dengan Aji, melupakan sesaat telur yang ia goreng di kuali. “Tau nih Mama, Bang Aji tu gila, Mama jangan dekat – dekat bang Aji, nanti ketularan rabiesnya,” Walau tidak ada kolerasi sama sekali dalam setiap perkataan Enza, Enza mengajukan protes yang bertujuan sama dengan Mas Arya, menghentikan drama pagi sialan milik Aji. “Dih si bocil, lo kata gue anjing gitu pake rabies!” Sungut Aji duduk di meja makan, berhadapan dengan Mas Arya dan si bontot Enza. “Anjing kok ngatain Anjing!” Komen Mas Arya yang ditatap tajam oleh Aji dan Enza. “Arya! Languange!” Mama memperingati Arya dengan membawa sutil panas bekas gorengan telur ditangannya, Mas Arya mengajukan tanda peace dengan wajah yang tersenyum lebar menapilkan barisan gigi putih terang benderang miliknya tanda perdamaian. Aji yakin, pasti Mas-nya ini mengkonsumisi odol terlalu banyak, sampai giginya bisa putih mentereng seperti itu, mengalahkan Brand Ambasaddor salah satu merek odol yang ia pakai, kalo tidak salah pe*sodent hehe. Aji terkikik, Mama duduk di sampingnya, mengambilkan nasi dan telur mata sapi yang terlihat sedikit gosong ke masing – masing piring anaknya. Mas Arya memimpin doa di meja makan sebelum menyantap sarapan mereka. Aji tersenyum kecil kala telur mata sapi yang ia makan terasa sangat asin dan sedikit pahit karena pinggiran telur yang kosong. Raut wajah Aji terlihat sangat menikmatinya walau lidahnya terasa mati rasa. Aji meneliti wajah saudranya yang tak berbeda jauh dengannya, bahkan Mas Arya masih bisa memberikan pujian pada masakan Mamanya di tengah gempuran garam berlebih di piring mereka. Mama terbiasa menjalani hari – harinya sebagai wanita karir sebagai model yang banyak menghabiskan waktu untuk berpose di depan kamera. Mama terlihat sangat cantik setiap blitz kamera menghampirnya, walau begitu Mama tidak pernah abai untuk merawat anak – anaknya, bahkan seringkali Mama turut mengajak anak – anaknya untuk turut berpose bersamanya. Kata bapak, sejak kecil Mama terlahir dengan sendok emas di mulutnya, klisenya Mama tidak pernah menyentuh dapur bahkan setelah menikah dengan bapak. Bapak yang bekerja sebagai kapten kapal juga tidak masalah, toh, kata bapak, dia mempersunting Mama untuk dijadikan istri bukan tukang masak. Jadi rasanya maklum – maklum saja kalo setiap hari masakan yang dimakan Aji dan saudara – saudaranya di rumah itu kalo tidak keasianan ya hambar. Lagipula mama terus belajar, tidak seperti pertama kali saat Mama memberi makan mereka tahu dan tempe yang seluruhnya hitam, hingga Mas Arya terpaksa membeli lauk di rumah makan. Selama mereka tidak keracunan, rasanya fine – fine saja Aji bersaudara memakan masakan Mama. Aji bersyukur dapat lahir kedunia, terlebih lahir dengan keluarga yang begitu harmonis dan saling menyayangi. Mama, begitu – begitu adalah orang yang paling maju ke garda terdepan untuk anak – anaknya. Pernah saat TK, Mama jambak – jambakan dengan Ibu teman Enza, hanya karena mengatakan Enza itu banci sebab barang yang Enza gunakan hampir didominasi warnah merah muda. Selain mendapat orang tua seperti Mama, Aji juga sangat bersyukur dapat tumbuh dari didikan bapak Chandra, pahlawannya, superheronya di dunianya ini. Bagi Aji, Bapak itu sosok laki – laki sempurna, pekerja keras, cinta keluarga, dan sangat bijaksana. Bahkan saat Mas Arya ketahuan merokok saat SMA, Bapak tidak marah, memeluk Mas Arya dan meminta maaf pada Mas Arya karena gagal menjadi sosok yang menuntun Mas Arya. Aji tidak terlalu paham saat itu, namun apapun yang dilakukan bapak saat itu, Mas Arya benar – benar berubah. Tidak ada lagi Mas Arya dengan gaya punk, bahkan rangking Mas Arya naik pesat menjadi sepuluh besar dari rangking dua terkahir di kelasnya. Banyak hal yang ingin Aji ceritakan tentang Mama dan Bapak. Namun, 9999 kata saja juga tidak akan mampu menjabarkan perasaan Aji betapa ia merasa sangat beruntung lahir dari kedua orang hebat, dibesarkan dengan penuh cinta hingga kini. Sudah membicarakan orangtuanya, mari Aji ceritakan tentang saudara – saudaranya, kolase keluarga mereka begitu indah dan sempurna, Aji harap suatu saat nanti kalose ini masih sama indahnya, dan masih sama utuhnya hingga ia tidak ada. Pertama, anak Mama yang paling sulung, Arya Sanggara, bujang lapuk yang nggak laku – laku, julukan yang akan selalu tersemat pada Mas-nya itu sebelum Mas-nya bisa mempersunting seorang perempuan dan memboyongnya ke rumah untuk dinikahi. Mas Arya sudah memasuki usia kepala tiga, tahun depan umurnya genap tiga puluh tiga tahun. Namun sampai saat ini, belum terlihat Mas-nya akan membawa seorang perempuan ke rumah untuk dikenalkan kepada ibu. “Mas memangnya mau jadi bujang lapuk seumur hidup! Kapan bawa calon istrinya kerumah.” Pernah satu hari perdebatan terjadi antara Mama dan Mas-nya, masih membahas tentang calon istri Mas-nya yang tak kunjung jua ada. “Sabar, Ma. Mas juga lagi usaha ini. Masa iya Mas asal comot anak cewek orang, Ma.” Mas Arya masih berusaha membujuk Mamanya, memangnya Mama pikir Mas Arya juga tidak mau menikah, dia ingin menikah, namun belum ada perempuan yang pas untuk menempati hatinya. “Pokoknya kalo besok kamu nggak bawa calon istri ke rumah, Mama yang bakal nyari buat kamu!” Keputusan Mama itu mutlak, kalo kata Mama A, maka seisi rumah hanya akan mengangguk, tidak berani neko – neko untuk mengubahnya sediktpun menjadi B atau C, jangankan merubah menjadi B atau C, merubahnya menjadi A+ ataupun A- saja mereka harus berpikir berulang kali. Mas Arya pikir perkataan Mama hanya ancaman semata, namun diluar perkiraan, Mama benar – benar melakukannya, mengatur kencan buta yang sangat banyak untuk Mas-nya, bahkan Mama tidak segan – segan mempromosikan Mas Arya pada anak – anak perempuan tetangga mereka. Mas Arya uring – uringan karena tingkah Mama, dirinya malu, sangat malu. Karena itu, Mas Arya kabur dari rumah selama seminggu penuh, tidak ada yang tahu kemana Mas Arya pergi, saat dicari ke kantornya pun, keterangan Mas Arya saat itu sedang cuti, nomor telepon Mas Arya juga tidak aktif, Aji mencoba bertanya pada teman – teman Mas Arya yang ia kenali. Namun, semuanya nihil, tidak ada yang tahu dimana keberadaan Mas Arya. Mama khawatir setengah mati pada Mas Arya, dan berjanji untuk tidak lagi memaksa Mas Arya, seminggu penuh Mama terus menangis mencari Mas Arya, hingga jatuh sakit selama tiga hari. Aji yang tidak tahan melihat kondisi Mama, memaksa adik bungsunya itu untuk membuka suara dimana keberadaan Mas Arya. Aji sangat tahu, Mas Arya bukan tipikal orang yang akan pergi diam – diam, minimal satu orang pasti tahu keberadaannya dimana. Mas Arya tidak mungkin mengatakannya pada Aji. Sebab yakin, Jika Mama memasang wajah sedih sedikit saja, maka Aji pasti akan luluh dan langsung memberitahu posisi Mas Arya. Dan satu – satunya yang tidak akan bersuara pastinya hanya si bungsu, Enza. Tebakan Aji tetap sasaran, Enza mengetahuinya, setelah diceramahi Aji panjang kali lebar tentang pentingnya menjaga kebahagian Mama, barulah Enza memberitahu keberadaan Mas Arya yang tengah di bandung, rumah lama mereka. Aji menjemput Mas Arya pulang, memberitahu kondisi Mama. Singkat cerita, Mas Arya pulang walau sedikit dibumbui drama tentang perjodohan yang dilakukan Mama, dan Mama menepati janji Mama untuk tidak pernah lagi memaksa Mas Arya segera menikah. Anak kedua Mama itu Aji, Setiaji Archandra. Karena Aji tipikal orang yang sangat percaya diri, Aji jelas yakin bahwa jika menceritakan dirinya hanya akan penuh dengan bualan – bualan yang tidak masuk akal aja, seperti Aji pernah berkencan dengan salah satu model jepang yang sangat cantik. Cih, hanya mendengarnya saja semua orang tahu bahwa Aji hanya menghalu, jadi dibanding tidak dipercaya, mari Aji ceritakan langsung tentang bungsu mereka, si bontot Enza. Bapak, Mas Arya dan Aji begitu senang mendengar kabar tentang kehamilan Mama, mereka mengharapkan bahwa yang lahirnya nanti adalah perempuan. Namun, Mama mengingatkan jika tidak sesuai dengan harapan jangan kecewa. USG pertama Mama belum bisa menunjukkan apakah anak yang dikandung Mama perempuan atau tidak. Beberapa bulan kemudian, Mama kembali USG, Mas Arya dan Aji menunggu cemas, saat itu bapak pulang dengan wajah sumringah, memberitahu bahwa adik mereka adalah perempuan. Mas Arya dan Aji begitu bersemangat, memilih semua barang berwarna merah mudah untuk kelahiran adik mereka. Bahkan mereka menyiapkan nama yang begitu cantik untuk adik perempuan mereka, Senjana Tri Putri. Tiba masa kelahiran, alih – alih perempuan, Mas Arya dan Aji malah mendapat adik laki – laki. Mama dan Bapak kompak tertawa, mensyukuri semua yang diberikan tuhan, berbeda dengan Mas Arya dan Aji yang sudah cemburut, karena tidak mau hasil kerja keras anaknya sia – sia, bapak tetap memberikan nama buatan Mas Arya dan Aji, namun putri dibelakang nama adiknya diubah menjadi Putra. Bapak juga tidak mengganti barang – barang yang sudah dipilih Mas Arya dan Aji. Tuhan seolah tengah bermain – main dengan Mas Arya dan Aji, adik mereka tumbuh dengan wajah yang cantik, bulu matanya lentik, bibirnya tipis berwana merah muda, hidung mancung dengan kulit putih lembut. Sifatnya manja dan cengeng, bahkan karakter kesukaan adiknya itu adalah Anna prozen, kamarnya penuh boneka beruang yang didominasi oleh warna merah muda. Bahkan barang – barang Enza, ¾ nya berwarna merah muda. Walau begitu, Enza tetap tumbuh layaknya anak laki – laki, nakal dan terlalu aktif. Pernah sewaktu kecil, Enza bermain bola, hingga isya tidak pulang – pulang membuat Mama dan Bapak keliyengan mencarinya, untungnya ia ditemukan, tengah tertidur di atas dahan pohon nangka milik tetangganya. Ada – ada saja kelakukan Enza sejak dulu. Sayangnya, suka cita tidak selalu mengahampiri keluarga mereka. Empat tahun lalu, kabar duka menyelimuti keluarga kesayangan Aji, kapal pesiar dengan kapten Chandra Sanjaya tenggelam, setengah dari penumpang kapal dinyatakan selamat, namun setengah darinya dinyatakan tewas, beberapa dari mereka yang beruntung masih dapat membawa jenazah keluarga mereka pulang, namun hingga hari akhir pencaharian, bapak tidak kunjung ditemukan. Kapten kapal itu hilang, bersamaan dengan kapten keluarga mereka. Pahlawan Aji hilang bahkan disaat Aji belum bisa membuktikan bahwa ia sama hebatnya dengan pahlawannya. Mama menjadi orang yang paling pertama menghentikan tangisnya, diantara Aji dan Enza. Saat itu, Mas Arya berkerja dan menetap di singapura. Mendengar kabar itu, Mas Arya segera terbang menuju Indonesia. Dalam empat tahun banyak perubahan yang terjadi di keluarga mereka, Mas Arya resign dari perusahaanya di singapura, mencari kerja dan menetap di Jakarta. Mama juga memboyong Aji dan Enza untuk tinggal di Jakarta, karena katanya bandung kini hanyalah kota penuh luka untuk mereka. Mama juga meninggalkan karir modelnya, menetap di rumah sambil menjalankan bisnis toko pakaian baru miliknya. Dan sejak dua tahun, tidak ada yang pernah mengungkit tentang Bapak sedikitpun. “Enza, jam berapa pulang sekolah sayang?” Tanya Mama, sembari memasukkan kotak makan siang berwarna merah muda ke dalam tas Enza. Enza tidak menjawab pertanyaan Mama, “Ma, kotak makan siangnya nggak ada warna lain apa?” Keluh Enza, sungguh rasanya Enza benar – benar muak dengan seluruh barangnya yang didominasi oleh warna pink, diakan laki – laki. “Idih! Gayaan lo!” Sinis Aji yang dibalas tatapan tak kalah sinis oleh Enza. Mas Arya menunggu Enza didalam mobilnya, karena tidak ingin terlambat, Enza segera menyalim Mama. Enza tahu bahwa mamanya sering menitipkan uang jajan untuknya pada Aji, abangnya. Enza tahu Aji tidak akan pernah mengkorupsi miliknya, karena abangnya itu menjunjung keadilan dan kejujuran diatas segalanya. Namun, detik dimana ia harus meminta pada Aji, disitulah Enza merasa sangat sial mengapa ia harus memiliki abang seperti Aji. “Senja! Lo nggak mau duit jajan.” Enza yang berniat pergi tanpa uang jajan, menghentikan langkahnya, menggeram kesal, “Enza bang! Enza!” Enza berkali – kali menekankan kepada Abangnya yang keras kepala itu! Mengapa juga namanya harus Senjana, karena tidak ingin diejek dengan nama perempuan, akhirnya Enza menyuruh semua orang untuk memanggilnya Enza, pertengahan namanya. Kecuali orang rumah yang memang kebangetan banget ngeyelnya, terus memanggilnya Senja. Enza mendekati abangnya, “Hayo, apa syarat duit jajannya” Suruh Aji cekikan melihat wajah tertekan Enza, Enza melakukan syarat pertamanya. Mengecup pipi Aji, tidak masalah karena Enza sudah kebal melakukannya. Syarat selanjutnya memeluk Aji, Enza memeluknya, Aji yang diperlakukan begitu tertawa senang, dan syarat ketigalah yang membuat Enza begitu ingin menenggelamkan abangnya ini ke rawa – rawa dan berharap di makan buaya, ungkapan cinta. “E-En-Enza S-sa-sa…..” “Sa apa, cepatan nanti telat!” Buru Aji dengan tampang jahil. “Enzasayangabang!” Enza melakukannya dengan satu tarikan nafas cepat, bahkan Aji tidak dapat mendengar jelas, biasanya ia tidak akan meloloskan Enza hingga adiknya itu mengatakan dengan jelas, karena kali ini ia juga harus pergi, Aji membiarkannya. Enza segera menarik uang jajannya dari tangan Aji dan berlalari menyusul Mas Arya. “ABANG JUGA SAYANG SENJA!” Teriakan Aji terdengar disusul dengan suara tawa Aji yang menggelegar dan suara tawa Mama yang begitu menikmati aksi Aji-Enza setiap pagi. Mas Arya terkiki geli dibalik kemudi, melihat wajah Enza yang tertekuk. “Mas juga sayang Senja!” Goda Mas Arya pada Enza, Enza membuang muka kearah jendela mobil, dari sampingnya terdengar tawa Mas Arya. Diam – diam Enza mengulum senyum, dirinya menyayangi Aji, jadi tidak ada rasa keberatan sebenarnya untuk mengungkapkan sayang pada Aji di setiap paginya. Namun, mengingat mereka semua laki – laki, Enza merasa begitu geli, terlalu clingy dan cheesy untuk dilakukan, kecualikan jika ia anak perempuan. Namun, Enza laki – laki, berapa kali harus ia katakan?! Enza. Itu. Laki. Laki. (bersambung)