SEMAKIN sulit sebuah perjuangan, semakin indah saat mencapai kemenangan. Kata-kata itulah yang selalu ditanamkan Habizar yang kini berhasil mengejar cita-citanya menjadi salah satu Dosen di Universitas ternama di Provinsi Jambi.
SAFWAN PEBRIYANGSAH, Sengeti
Melalui perjuangan dan pengorbanan cukup panjang, pria kelahiran Ujung Pasir 20 November 1989 ini mampu mengubah nasib. Dia yang semula merasakan hidup sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri jiran Malaysia.
Keberhasilan yang menjadi seorang dosen di dunia pendidikan itu tentu tak diraihnya dengan gampang, melainkan melalui perjuangan berat dan lika-liku hidup yang sulit.
Habizar lahir dan besar di desa Ujung Pasir Kabupaten Kerinci. Di kampung halamannya ia tinggal bersama kakak dan seorang nenek, karena kedua orang tuanya terpaksa harus merantau ke Malayisa paska gempa dahsyat di Kerinci pada tahun 1995 yang memporak-porandakan desa tersebut. Biaya hidup dan sekolahnya dikirim orangtuanya dari Malaysia.
Habizar mengenyam pendidikan S1 di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris IAIN Kerinci. Di bangku perkuliahan S1 ini, ia aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Dia juga ditunjuk sebagai Kosma (ketua kelas) yang membuatnya dekat dengan banyak dosen.
Di situ lah cita-cita untuk menjadi dosen timbul di fikirannya. Setelah lulus sarjana di IAIN Kerinci yang didulunya masih berstatus STAIN, dia sebetulnya berharap bisa kuliah S-2. Namun, dia tak punya biaya.
Tak tanggung-tanggung, Dia pun nekat untuk melanjutkan studinya ke negeri jiran, Malaysia. "Di samping ingin menuntut ilmu, sebenarnya juga menyimpan rasa rindu kepada kedua orang tua, karena memang jarang pulang," katanya.
Di sana, dia mendapat izin menetap selama satu bulan saja sebagai pelancong. Waktu satu bulan itu ia maanfaatkannya untuk mendaftar langsung ke berbagai Universitas yang ada di Malaysia, mulai dari UKM, hingga ke UM.
Tak terasa waktu satu bulan telah berlalu, Habizar harus meninggalkan negara tersebut kerena izin menetapnya telah habis. Terasa berat hatinya hendak pulang. Berpisah dengan kedua orang tuanya.
"Saya sangat berharap semoga permohonan untuk masuk Universitas di sana bisa diterima, sehingga bisa kembali datang ke Malaysia," bebernya lagi
Setibanya di Indonesia, Habizar mendapatkan e-mail dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dia membaca email tersebut dengan teliti, berharap bisa diterima. Namun isi pesan tersbut adalah “anda tidak berjaya” yang artinya dia gagal. Nasib baik ternyata belum berpihak pada Habizar.
Setelah lama menunggu, sebuah email datang dari Univerisiti Malaya (UM), isi pesan tersebut menyatakan bahwa ia diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di kampus nomor satu di Malaysia itu.
"Waktu itu sangat senang sekali dengan pesan itu. Cita-cita menjadi dosen rupanya masih memiliki peluang untuk bisa diwujudkan," ujarnya.
Dengan perasaan bahagia ia berangkat kembali ke Malaysia, kali ini bukan sebagai pelancong melainkan sebagai seorang pelajar. Di Malaysia, Habizar disambut dengan penuh semangat oleh kedua orang tuanya. Namun sebagai anak, terkadang ia merasa kasihan juga kepada orang tuanya.