Oleh Masrizal Al Husyaini
TIBA-tiba publik terperanjat dengan merebaknya aksi tawuran di tanah air antara peserta didik SMA 6 lawan SMA 70 hingga menelan korban jiwa seorang pelajar SMA 6 yang bernama Alawy Yusanto Putra, dan beberapa pelajar luka-luka. Belum kering air mata membasahi pipi, korban kembali berjatuhan dalam
kasus tawuran lainnya dalam hal ini SMA Yayasan Karya 66 lawan SMA Kartika Zenit yang menewaskan Deni Januar (Riau Pos, Jumat 28/9/2012). Praktis dalam dua hari, dua pelajar Jakarta telah menjadi korban kebringasan oleh hantu tawuran.
Sangat disayangkan nyawa anak muda sebagai generasi penerus bangsa hilang tercabut sesama pelajar sendiri. Sulit bagi kita membayangkan bagaimana perasaan kesedihan orangtua yang membayangkan anaknya mati di jalanan di karenakan tawuran. Lebih sedih lagi jika di ketahui bahwa anaknya yang mati itu bukan pelaku tawuran, tetapi hanya jadi korban. Betul bahwa keluarga memegang peranan penting dalam pergaulan anak. Pembacok Alwy, misalnya, berasal dari keluarga yang kurang harmonis. Pihak sekolah, orangtua, masyarakat dan pemerintah, sangat berperan penting dalam mencegah aksiaksi tawuran antara pelajar.
Dari kejadian ini, pemerintah juga harus menegakkan disiplin sekolah yang terbukti melakukan aksi tawuran harus diganti dan kepala sekolahnya dicopot. Guru-guru yang tidak peduli kepada muridnya harus dievaluasi. Begitu juga hendaknya kepala dinas yang tidak mampu mengkap sinyal-sinyal tawuran harus dimutasikan. Inilah sebagian kecil potret pendidikan kita, kekerasan sepertinya bagian dari tingkah-laku kekerasan para pelajar di negeri ini. Seiring dengan itu, setidaknya menurut hemat saya, pendidikan tasawuf dan intes komunikasi dengan orangtua harus disisipkan di sekolah.
Pendidikan Tasawuf
Setidaknya argumen ini terbukti ketika kita melihat kejayaan luar biasa di Baghdad pada tahun 1058-1157 M ketika itu kita melihat kajayaan Madrasah Nizhamiyah dari Dinasti Saljuq yang melahirkan tokoh-tokoh yang dikenang dalam ukiran sejarah seperti Imam al Haramain Al Juwainy (pengagas konsep al-Mashlahan dalam kajian Ushul fiqih), Imam al-Baqillani (perumus dalam teologi tauhid al-Asyari dalam kajian dua puluh sifat yang wajib bagi Allah SWT). Imam al-Ghazali selain ahli di bidang filsafat, juga ahli dalam kajian tasawuf, tidak lupa juga di Madrasah Nizhamiyah, Umar Khayyam dan Abdurrahman, keduanya lebih dikenal ahli astronomin dan matematika (Abd Mukti, Kontruksi Pendidikan dalam Kajian Islam Belajar dari Kejayaan Madrsah Nizamiyah Dinasti Saljuq.
Bandung: Cipta Pustaka, 2007). Aspek esoteris dalam Islam disebut aspek tasawuf. Dengan lemahnya aspek esoteris selama ini berarti juga bahwa aksi invasi kekerasan sesama peserta didik atau aksi tawuran antar sesama sekolah akan menjadi bagian dari pemandangan para pelajar. Setidaknya kita lihat dari sistem orientasi perkenalan siswa baru di sekolah atau dulu dikenal dengan perploncoan, siswa yang baru seperti di- “keroyok” oleh seniornya. Kalau sistem perkenalan di sekolah sudah menanamkan bibit kekerasan dan menabur benih kebencian, lalu bagaimana
nantinya dengan masa depan pendidikan di negeri kita? Padahal seharusnya pengajaran tasawuf(esoteris) itu dilakukan secara seimbang dengan aspek kurikulum Kemendiknas.
Karena tanpa ada pengajaran tasawuf yang seimbang dengan aspek kurikulum Kemendiknas, maka peserta didik kurang menghayati ajaran saling menghargai dan saling menghormati. Oleh karena itu pengajaran tasawuf harus dilakukan secara dini mulai dari SD, SLTP, SLTA hingga ke perguruan tinggi.
Pada tingkat SD, para peserta didik diajarkan syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan ibadah. Juga perlu diajarkan tentang ruh dari setiap perbutan yaitu keikhlasan. Seluruh perbutan dari aspek ibadah, leadership, dan pergaulan dengan teman dan lingkunganya akan menimbulkan sifat ihsan, sifat tersebut akan melekat pada dirinya yaitu sikap hidup yang diliputi oleh semangat kehadiran dan pengawasan Tuhan dalam hidup ini. Kemudian pada tingkat SLTP harus dimulai memperkenankan konsep-konsep tasawuf yang mengarah kepada pembentukan pribadi yang kuat. Selain ikhlas juga diajarkan tentang sabar, taqarub, mahabbah, pemaaf, bertobat, ramah, toleransi, menahan nafsu amarah, dan lainya.
Lantas pengajaran tasawuf pada tingkat SLTA harus merupakan kelanjutan dari jenjang sekolah sebelumnya. Pengembangan lebih lanjut diberikan dengan bertitik tolak dari pembiasaan akan makna nama-nama indah asmaul husna Tuhan. Nama-nama Allah SWT itu dijelaskan dalam Alquran sebagai petunjuk bagaimana persepsi manusia tentang Tuhan, karena persepsi itu biasanya terpengaruh oleh pengalaman hidup manusia itu sendiri. Relevan dengan itu para ahli di kajian tasawuf menegaskan, kita kembali sebagai wakil Tuhan di muka Bumi. Meniru kualitas akhlak “khalifah” Tuhan.
Secara kongnitif tentang tasawuf harus sudah mulai diperkenalkan dengan sejarah tumbuh dan berkembangnya, secara garis besarnya perlu diperkenalkan kepada mereka adanya pemikir-pemikir kajian tasawuf seperti al-Ghazali, al-Qusyairi, Ibnu ‘Arabi, al-Bustami, al-Hallaj, Rabiah al ‘adawiyah dan lainya. Kemudian secara garis besar sudah bisa diperkenalkan atau masuk setiap salah satu peserta didik dalam hanyutan zikir kepada Allah SWT melalui adanya berbagai aliran tarekat seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah dan lainya setidaknya akan mempersempit atau mematikan aliran aksi tawuran antar sekolah. Kemudian diperkenalkan aliran-aliran tokoh tasawuf di Indonesia seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri, Syamsuddin Sumatrani, Abdussamad Al Palimbali, Yusuf al-Maqasari, Muhammad Nafis al-Banjari, Abd Rauf Singkel dan lainya, kan melahirkan sebuah khaznah ke ilmuan yang baik moralnya serta mampuni keilmuan umumya.
Peranan Orangtua
Setidaknya dalam asumsi penulis salah satu meminimalisir langkah mempersempit aksi tawuran para pelajar setidaknya ada beberapa poin yang bisa ditawarkan. Pertama, tidak luput dari memberikan kata-kata nasihat, dikarenakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasihat adalah mengajarkan kebaikan. Metode menasihati merupakan ajaran yang paling dasar di dalam pendidikan. Bukankah para guru dan orangtua cukup besar